Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan gasifikasi atau konversi batu bara menjadi produk gas untuk bahan bakar dapat menghemat devisa hingga Rp12 triliun per tahun.
Pasalnya, gasifikasi dapat mengurangi ketergantungan impor LPG RI dan meningkatkan ketahanan energi nasional.
"Kami melihat gasifikasi ini penting untuk menghemat ketergantungan impor dan menghemat defisit neraca perdagangan sampai Rp12 triliun," ujar Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad pada webinar Indef bertajuk Keekonomian Gasifikasi Batu Bara, Kamis (7/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, ia melihat gasifikasi juga memiliki beberapa efek domino atau multiplier effects, seperti meningkatkan investasi asing (foreign direct investment/FDI) hingga US$2,1 miliar. Lalu, menyerap tenaga kerja sebesar 10.570 orang.
Lalu, ia menyebut gasifikasi juga dapat memanfaatkan batu bara berkalori rendah sebesar 180 juta ton dalam 30 tahun.
"Gasifikasi menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi hilirisasi DME senilai Rp800 miliar per tahun, di antaranya tumbuhnya industri kompor DME," imbuh dia.
Namun, Tauhid memberi catatan asumsi perhitungan tersebut disyaratkan beberapa faktor. Pertama, harga keekonomian batu bara tidak lebih dari US$25 per ton dan DME US$0,6 per kg. Menurut dia, jika harga batu bara ditetapkan lebih dari US$29 per ton, maka gasifikasi menjadi tak layak dilanjutkan.
Ia menambahkan harga DME di bawah US$0,6 per kg pun membuat gasifikasi tak layak dilakukan.
Tauhid menjelaskan dalam simulasi yang dihitung tersebut dimasukkan berbagai asumsi dan angka di level tertentu yang bisa berubah sewaktu-waktu. Namun, ia menilai kunci dari keberhasilan gasifikasi adalah penetapan harga keekonomian oleh pemerintah.
"Dari perbandingan-perbandingan, intinya bahwa kelayakan gasifikasi batu bara tergantung pada level harga keekonomian batu bara dan juga DME-nya," tutup dia.