Rincian PPN saat Top Up e-Money versi DJP
Direktur Jenderal Pajak (DJP) akan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada layanan keuangan fintech. Salah satunya, transaksi top up e-money atau e-wallet.
Namun, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor menjelaskan PPN hanya dikenakan atas biaya jasa dari perusahaan teknologi finansial (fintech) sebagai pihak yang memfasilitasi transaksi.
Artinya, PPN dengan tarif 11 persen tidak dikenakan secara langsung terhadap nominal transaksi di layanan teknologi finansial tersebut.
Lihat Juga : |
"Misalnya, kita top up e-money Rp10 juta, umumnya terdapat biaya jasa atau kita kenal sebagai fee sekitar Rp500 atau Rp1.500 tergantung dari pemberi jasa. Nah, atas fee Rp500 inilah yang nantinya akan dikenai PPN 11 persen. Jadi, PPN yang dipungut hanya sebesar Rp55," tutur Neilmaldrin melalui keterangan resmi, Rabu (13/4).
Ketentuan ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial yang berlaku mulai 1 Mei 2022 mendatang.
Neilmadrin mengatakan tidak semua jasa fintech akan dipungut PPN, tetapi hanya jasa berupa pembayaran, penyelenggaraan penyelesaian transaksi (settlement) investasi, penyelenggaraan penghimpunan modal, dan layanan pinjam meminjam.
Lalu, jasa yang terkena PPN lainnya adalah pengelolaan investasi, penyediaan produk asuransi online, pendukung pasar, pendukung keuangan digital, dan aktivitas jasa keuangan lain.
Lihat Juga : |
Sedangkan, jasa penempatan dana atau pemberian dana, jasa pembiayaan, dan asuransi online dibebaskan dari pengenaan PPN.
Selain mengatur tentang pemungutan PPN, PMK Nomor 69 Tahun 2022 ini juga mengatur pemotongan PPh fintech yang memberi layanan pinjam meminjam atau P2P Lending atas penghasilan bunga yang diterima kreditur melalui platform tersebut.
Bunga yang diterima kreditur wajib pajak dalam negeri dari fintech P2P lending akan dipotong PPh pasal 23 sebesar 15 persen dari jumlah bruto bunga.
Sementara itu, PPh pasal 26 sebesar 20 persen dari jumlah bruto bunga atau sesuai persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) akan dipungut dari bunga yang diterima kreditur wajib pajak luar negeri.
Neilmaldrin menambahkan pengenaan pajak atas penyelenggaraan bisnis fintech menunjukkan langkah serius pemerintah dalam menerapkan perlakuan yang sama bagi industri jasa keuangan.
"Perlu dipahami bahwa penerapan pajak pada digital economy sebelumnya sudah diterapkan lebih dulu pada kegiatan ekonomi konvensional sehingga pada intinya tidak terdapat objek pajak baru dan hanya terdapat perbedaan cara bertransaksi," tandasnya.
(mrh/bir)