ANALISIS

Berat Bikin Harga Minyak Goreng Rp14 Ribu dengan 'Mengharamkan' Ekspor

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Rabu, 27 Apr 2022 07:37 WIB
Ekonom menilai berat menurunkan harga minyak goreng ke Rp14 ribu per liter dengan larangan ekspor yang akan berlaku mulai besok. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan melarang ekspor refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein yang merupakan bahan baku minyak goreng. Larangan ekspor itu berlaku mulai Kamis (28/4) besok.

Kebijakan diambil demi menyelesaikan masalah tingginya harga minyak goreng di dalam negeri dalam beberapa bulan terakhir. Bahkan targetnya, kebijakan ini mampu membuat harga minyak goreng curah turun dari kisaran Rp20 ribu menjadi Rp14 ribu per liter.

"Jangka waktu pelarangan sampai harga minyak goreng di masyarakat bisa menyentuh harga yang ditargetkan, yaitu Rp14 ribu per liter yang merata di seluruh wilayah Indonesia," ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat konferensi pers online, Selasa (26/4).

Namun, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori pesimis. Ia tak yakin dengan kebijakan dan target pemerintah. Sebab, selama harga minyak sawit mentah (CPO) masih mahal di pasar internasional, maka harga produk turunannya, termasuk minyak goreng akan ikut terkerek.

"Ya kalau harga CPO tidak turun, maka harga turunannya, RBD palm olein yang setengah jadi atau minyak goreng yang produk jadi tetap akan mahal. Sulit tekan harga ke Rp14 ribu kalau CPO masih mahal," ujar Khudori kepada CNNIndonesia.com.

Apalagi, sambung dia, kebijakan yang diambil ini sangat tidak ramah dengan pasar. Bahkan, bisa dibilang seperti jalan pintas yang melawan arus.

"Sudah kebijakannya berubah-ubah, mendadak, melawan pasar bahkan karena memaksa harga turun jauh dari harga pasar," imbuhnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus juga ragu. Pasalnya, dengan kondisi pasar saat ini di mana harga CPO tinggi, bukan tak mungkin pengusaha lebih memilih langsung mengekspor CPO ke luar negeri.

"Ketika ekspor RBD dilarang dan CPO tidak, ya mereka bisa saja langsung jual CPO-nya ke luar, apalagi pembeli kita seperti India, dia lebih suka beli dalam bentuk CPO ketimbang produk hilirnya. Lalu, apa ada jaminan perusahaan bakal maksimal mengalirkan CPO-nya di dalam negeri untuk diproses menjadi RBD menjadi minyak goreng?" kata Heri.

Di sisi lain, lanjut Heri, perlu diakui bahwa tingkat konsumsi CPO di dalam negeri memang tidak besar. Porsinya mungkin cuma sekitar 30 persen sampai 40 persen dari total produksi nasional.

Sependapat, Peneliti Indef Nailul Huda juga yakin kebijakan ini tidak bisa menyeret harga minyak goreng yang sudah terlalu tinggi di pasar. Apalagi, harga bahan pangan itu sudah melebihi batas keekonomiannya, yakni berkisar Rp20 ribu per liter.

"Karena seharusnya harga keekonomian saat ini di kisaran Rp20 ribu per liter. Harga saat ini Rp25 ribu per liter adalah harga kartel," ucap Huda.

Menurutnya, larangan ekspor RBD palm olein tak akan sukses menurunkan harga minyak goreng karena kurang memaksa pengusaha untuk membanjiri stok bahan baku minyak goreng ke pabrik dan pasar.

"Masalahnya adalah para pemain besar ini tidak mau menggelontorkan barangnya ke pasar," tutur Huda.



Jalur Alternatif


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :