Pemerintah, Huda melanjutkan, perlu menerapkan kebijakan lain agar harga minyak goreng turun ke Rp14 ribu per liter. Misalnya saja dengan menerapkan kembali kebijakan harga eceran tertinggi (HET).
Tapi perlu diingat, HET mungkin tidak bisa langsung dipatok Rp14 ribu per liter karena harga CPO memang tengah mahal. Pun begitu, HET bisa ditetapkan secara berkala, misalnya di kisaran Rp16 ribu sampai Rp20 ribu per liter.
Kemudian perlahan-lahan diturunkan sampai benar-benar menyentuh Rp14 ribu per liter. "Saya rasa ini bisa menurunkan harga minyak goreng," usul Huda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Kebijakan lain yang juga perlu dilakukan secara pararel adalah batas wajib pasokan komoditas ke pasar domestik (domestic market obligation/DMO) sebanyak 20 persen. Saat ini, kebijakan sudah ada, hanya saja harus benar-benar dipastikan berjalan.
"Masalahnya sekarang mereka (pengusaha) ini tidak mau DMO. Inginnya ke luar negeri semua karena harganya sedang tinggi," tuturnya.
Alternatif kebijakan lain adalah ancaman pencabutan izin lahan berstatus hak guna usaha (HGU) kepada pengusaha sawit yang tidak bisa diajak bekerja sama.
"Cabut saja HGU perusahaan yang terlibat mafia minyak goreng. Mereka otomatis kehilangan asetnya, bukan cuma pangsa ekspornya," katanya.
Heri juga menekankan perlu ketegasan pemerintah dalam menerapkan kebijakan DMO, termasuk memberi ganjaran sanksi kepada perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan itu.
Hal ini berkaca pada pengungkapan dugaan kasus pemberian fasilitas izin ekspor yang menyeret nama Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana dan tiga petinggi perusahaan sawit. "Dengan ada tersangka dulu, artinya mereka tidak jalankan DMO, tapi minta ekspor," ujar Heri.
Kebijakan lain yang bisa diterapkan adalah memberikan subsidi agar harga minyak goreng rendah di pasar. Tapi, ia menekankan subsidi harus dibuat secara tertutup, sehingga tepat sasaran.
Jangan sampai subsidi terbuka, seperti BBM dan LPG 3 kilogram (kg) yang rawan dimanfaatkan oleh mereka yang tidak rentan.
Pemberian subsidi ini, menurut Heri, bisa dilakukan dengan fleksibel. Misalnya, ketika harga CPO rendah, maka subsidinya turun, tapi ketika lagi mahal, subsidinya meningkat. "Sama seperti subsidi ke biodiesel, subsidinya floating (mengembang) saja sesuai tren harga bahan baku," ungkapnya.
Khudori juga mengamini kebijakan subsidi seperti ini. Namun, ia mewanti-wanti agar pembayaran subsidi kepada perusahaan juga perlu adil dan segera. Artinya, mereka tidak kerepotan menagih pembayaran subsidi dari pemerintah di kemudian hari.
Masukan kebijakan lain, yaitu pengenaan pajak ekspor lebih tinggi ketika harga CPO naik. Nantinya dana itu bisa digunakan untuk pembayaran subsidi agar harga minyak goreng terjangkau bagi masyarakat. "Jadi dananya bisa untuk jaring pengaman masyarakat," tutupnya.