Berkarir di perusahaan rintisan (startup) menjadi mimpi banyak milenial lima tahun terakhir. Tawaran gaji besar, organisasi lebih ramping, hingga tren perkembangan teknologi menjadi alasan.
Namun, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang marak terjadi belakangan justru membuat banyak kalangan ketar-ketir, tak cuma bagi mereka yang berkarir di startup.
Sejumlah pengamat malah khawatir apa yang terjadi di industri startup sekarang ini sebagai bubble burst atau pecahnya gelembung ekonomi yang diakibatkan kenaikannya yang terlalu cepat, namun cepat pula jatuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Taipan Hary Tanoesoedibyo malah menilai tren PHK sebagai tanda akhir dari masa keemasan industri startup. Apa benar demikian?
Direktur Eksekutif ICT Indonesia Heru Sutadi menampik kondisi saat ini sebagai senja kala startup. Tetapi, dia mengingatkan bahwa ini adalah alarm atau sinyal menuju ke sana.
"Ini alert (sinyal). Memang belum senja kala, tapi menuju ke sana," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (1/6).
Ia pun berharap pemerintah melakukan intervensi. Sebab jika dibiarkan, maka dalam 1-2 tahun ke depan, industri startup tidak akan bertahan, alih-alih menjadi unicorn. Utamanya, startup di level menengah.
Lihat Juga : |
Kendati demikian, ia mengaku fenomena PHK besar-besaran tidak hanya terjadi di industri startup dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, misalnya di India. "Kesulitan pendanaan, pelemahan ekonomi, bubble burst jadi penyebabnya," jelasnya.
Bendara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Wihardja membantah fenomena PHK saat ini sebagai senja kala startup. "Nggak benar. Masih panjang dan tidak akan habis era startup di mana pun," terang dia.
Menurutnya, industri startup akan selalu ada di kondisi bearish dan bullish. Ia mencontohkan seperti tren awal di Silicon Valley, AS, kala itu.
"Biasanya koreksi pasar selalu terjadi baik untuk perusahaan private maupun public, jadi sentimen memang penting bagi para investor. Namun, underlying fundamental masing-masing startup seharusnya bisa bertahan dan berkembang sesuai pangsa pasar dan inovasi yang ada," katanya.
Lihat Juga : |
Terkait dengan fenomena PHK, ia menjelaskan hal itu tak serta merta disebabkan oleh masalah aliran modal. Tetapi, bisa jadi karena penyesuaian fundamental bisnis yang dilakukan oleh perusahaan startup.
"Lebih dikarenakan fundamental bisnis yang memang rata-rata perlu disesuaikan dan kadang di pivot. Bisa saja mereka pivot mengubah fokus target pasar atau model bisnisnya agar lebih sesuai, startup memang sering melakukan pivot," lanjutnya.
Laporan agregator layoff.fyi menyebutkan sepanjang Mei 2022, industri startup secara global telah melakukan PHK kepada 15 ribu orang karyawan.
Beberapa perusahaan startup global yang melakukan PHK, yaitu Vtex, PayPal, Bolt, FrontRow, dan Snap. Di Indonesia sendiri, tercatat sudah ada beberapa startup yang melakukan layoff.
Lihat Juga : |
Di antaranya, dompet digital LinkAja yang melakukan reorganisasi dan berujung pada PHK. Kemudian, startup pendidikan Zenius Education yang mem-PHK 200 orang karyawan.
Platform belanja makanan segar Tanihub juga melakukan PHK dan menghentikan semua layanan business to consumer dan mulai fokus pada sektor business to business, menjadi pemasok untuk hotel, restoran, catering, dan cafe.
Ada juga startup di bidang furnitur, Fabelio. Selama pandemi penjualan furnitur turun drastis hingga Fabelio harus meminta puluhan karyawan untuk mengundurkan diri.
JD.ID juga melakukan upaya perbaikan manajemen berujung PHK demi bisa beradaptasi dengan dinamika pasar e-commerce di Indonesia.
Menyusul langkah perusahaan-perusahaan rintisan tersebut, Mobile Premier League (MPL) platform gim juga menyatakan pamit dari Indonesia.
Keputusan pamit itu juga diiringi dengan merumahkan 100 orang karyawannya. Begitupun dengan edtech Pahamify yang juga melakukan PHK.