Nasib Bisnis Teh Sri Lanka di Tengah Kebangkrutan
Asosiasi Pedagang Teh di Kolombo, Sri Lanka (The Colombo Tea Traders Association/ CTTA) mengeluhkan industri teh semakin terpuruk di tengah krisis yang melanda negara tersebut.
Mengutip pernyataan yang dikutip economynext.com, Selasa (21/6), CTTA memaparkan keputusan pemerintah Sri Lanka yang melarang penggunaan pupuk anorganik atau kimia membuat produksi turun drastis beberapa waktu terakhir.
"Keputusan baru-baru ini untuk melarang penggunaan pupuk anorganik atau kimia telah mengakibatkan penurunan produksi yang drastis dari akhir tahun lalu hingga saat ini," ungkap CTTA pada Senin (23/5) lalu.
Menurut asosiasi, penurunan produksi teh di Sri Lanka membuat penerimaan devisa ikut berkurang drastis. Bahkan, hitung-hitungan CTTA menunjukkan Sri Lanka merugi hingga miliaran dolar AS.
"Pengusaha teh tidak pernah didengar pemerintah dalam membuat keputusan untuk melarang penggunaan produk pertanian tertentu, seperti pupuk," jelas CTTA.
Oleh karena itu, CTTA mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan cepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Terlebih, ekonomi Sri Lanka sedang bergejolak.
"Kami sangat percaya bahwa jika langkah-langkah praktis diambil segera untuk mengubah situasi saat ini, kami dapat berkontribusi untuk membangun kembali ekonomi (Sri Lanka)," ungkap CTTA.
Sejauh ini, CTTA mengatakan industri teh mempekerjakan 10 persen dari total populasi di Sri Lanka dan menyumbang sekitar US$1,3 miliar per tahun untuk negara.
Sementara itu, mengutip Reuters, larangan penggunaan pupuk kimia dalam memproduksi teh dibatalkan oleh Pemerintah Sri Lanka. Namun, pasokan pupuk juga ikut terbatas setelah keputusan itu dikeluarkan.
Kondisi itu membuat produksi teh turun 15 persen ke level terendah sejak 2009 pada kuartal I 2022.
Padahal, Sri Lanka merupakan salah satu produsen teh termahsyur di dunia. Mengutip teasrilanka.org, tahun lalu, produksinya mencapai 299 ribu ton di mana 286 ribu ton diantaranya diekspor.