Perum Damri mengeluhkan biaya operasional yang tinggi di beberapa daerah dalam melayani angkutan perintis.
Biaya operasional yang tinggi terutama disebabkan oleh harga suku cadang dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM).
Direktur Utama Perum Damri Milatia Moemin mengatakan performa angkutan perintis kurang maksimal karena faktor usia kendaraan di tengah kondisi medan yang berat dan sulit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kadang harus masuk air. Jalanannya rata-rata offroad. Contoh, di Papua yang melingkar itu sudah bagus, tapi masuk ke dalam, jalannya banyak offroad dan daerah terluar pun hampir sama," ujarnya saat rapat dengar pendapat dengan Kementerian Perhubungan dan Komisi V DPR, Rabu (29/6).
Kerusakan akibat kondisi jalan itu, sambung dia, mengakibatkan pemakaian lebih cepat suku cadang dan ban.
Kemudian, masalah kelangkaan BBM yang memaksa Damri memabyar dua hingga tiga kali lipat dari budget yang tertera dalam kontrak kerja untuk kebutuhan bahan bakar.
"Kadang (BBM) bisa 2 kali lipat, kadang bisa 2,5 kali lipat atau sampai 3 kali lipat. Ini sendiri tantangan dan karena sudah ada di kontrak, ini tidak bisa kami tagihkan," lanjut Milatia.
Ironisnya, meskipun harga BBM sangat tinggi, Damri harus tetap beroperasi karena menjadi satu-satunya pilihan masyarakat. "Kalau Damri tidak beroperasi, contoh anak-anak di Papua tidak bisa berangkat sekolah sama guru-gurunya. Karena alternatif angkutan untuk mereka satu-satunya hanya Damri," imbuh dia.
Mengacu SK Dirjen Perhubungan Darat Tahun 2007, pola pemberian subsidi angkutan perintis dan akungan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) menggunakan pola selisih antara pengoperasian yang dikeluarkan dengan pendapatan operasional yang diperoleh.
"Jadi, penerapan tarif dengan perbandingan 70 persen di-subsidi, 30 persen operator harus mencari pendapatan sendiri. Tidak full recovery. Padahal, load factor angkutan perintis seperti biasa, sulit mencapai 30 persen karena di distrik tertentu dan daerah terluar, populasi sedikit," terang dia.
"Tetapi pada 2022, akhirnya SK Dirjen 2007 diubah dan akan diberlakukan tahun depan. Mudah-mudahan dengan struktur BOK (biaya operasi kendaraan) yang baru, kita bisa melakukan kinerja yang lebih baik," lanjutnya.