Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson mengundurkan diri dari jabatannya, Kamis (7/7). Langkah itu ia lakukan setelah sejumlah menterinya ramai-ramai mundur dalam dua hari terakhir.
Johnson mundur di tengah lonjakan inflasi dan stagnasi ekonomi Inggris. Ia juga mundur di tengah ancaman Kemiskinan yang mengintai warga Inggris akibat biaya hidup yang tinggi.
Meski sudah mengumumkan pengunduran diri, Johnson masih akan memimpin Inggris sampai perdana menteri baru terpilih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya akan tetap bekerja sampai ada pemimpin baru," ujar Johnson dalam pidato pengunduran dirinya.
Ia mengatakan proses pemilihan pemimpin baru sudah dimulai. Pemerintah akan mengumumkan detail proses pemilihan ini pada pekan depan.
Kelak, siapapun pemimpin baru yang menggantikan Johnson akan menghadapi tantangan ekonomi dan keuangan yang diwariskan olehnya. Apa saja?
Berikut tiga masalah ekonomi yang ditinggalkan Johnson.
Melansir CNN Business, Jumat (8/7), setiap negara mengalami kesulitan akibat pandemi. Wabah itu telah mengakibatkan gangguan rantai pasok, dan biaya energi serta pangan. Masalah semakin menjadi usai Rusia mengobarkan perang terhadap Ukraina Februari lalu.
Dan Inggris merupakan negara yang terdampak cukup dalam oleh masalah-masalah itu. Akibat gejolak itu, inflasi di negara itu mencapai 9,1 persen secara tahunan (yoy) pada Mei lalu. Hal itu menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Inflasi Inggris diperkirakan naik di atas 11 persen pada akhir tahun ini meskipun bank sentral mereka sudah mengeremnya dengan menaikkan suku bunga acuan.
Selain itu, efek sampingan dari Brexit atau pencapaian khas Johnson di pemerintahan telah memperburuk kekurangan tenaga kerja yang meningkatkan biaya operasional untuk bisnis. Biaya impor juga telah didorong lebih tinggi oleh penurunan tajam nilai poundsterling tahun ini.
Kenaikan harga pangan dan bahan bakar telah menciptakan krisis biaya hidup terburuk dalam beberapa dekade. Hal tersebut membuat masyarakat miskin di Inggris kian tertekan.
Pemerintah Johnson pun menjanjikan US$502 dalam bentuk hibah per keluarga untuk membantu jutaan orang yang berjuang untuk membayar tagihan energi mereka.
Tagihan energi rumah tangga rata-rata tahunan bisa naik sekitar 50 persen menjadi US$3.600 musim dingin ini ketika batas harga maksimum yang dapat dibebankan pemasok kepada pelanggan direvisi pada musim gugur. Regulator sudah menaikkan batas sebesar 54 persen pada April lalu.
Pertumbuhan ekonomi Inggris rendah dan dihantui resesi. Pertumbuhan ekonomi negara dengan ekonomi terbesar ke-lima di dunia itu mulai menurun sejak Maret lalu.
Kantor Statistik Nasional mencatat penurunan dipercepat pada April, ketika produk domestik bruto (PDB) diperkirakan turun 0,3 persen. Adapun sektor yang terkoreksi paling dalam adalah jasa, manufaktur, dan konstruksi. Sementara itu, penjualan ritel turun di Mei untuk bulan kedua berturut-turut.
Kabar buruk tidak berhenti di situ. Dalam laporan stabilitas keuangan yang diterbitkan awal pekan ini, Bank of England mengatakan bahwa prospek ekonomi Inggris telah 'memburuk secara material'.
Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan yang berbasis di Paris memperkirakan ekonomi Inggris sedang menuju ke stagnasi. Mereka perkiraan pertumbuhan PDB nol untuk 2023. Itu akan menjadi kinerja terburuk di G7 tahun depan.
Di sisi lain, utang pemerintah telah melonjak hingga lebih dari 90 persen dari PDB. Utang itu muncul sebagai akibat dari langkah-langkah yang diambil untuk membantu bisnis dan rumah tangga dalam mengatasi pandemi dan krisis energi.
Lihat Juga : |
Kantor Tanggung Jawab Anggaran (OBR) menyimpulkan perdagangan luar negeri Inggris belum pulih sejak pandemi. Kesempatan perdagangan bebas tarif yang ditandatangani Johnson dengan para pemimpin Uni Eropa (UE) telah menyebabkan peningkatan besar dalam dokumen bea cukai, sehingga mempersulit negara itu untuk menjual ke pasar ekspor terbesar mereka dan meningkatkan biaya impor.
"Sementara perdagangan tambahan dengan negara lain dapat mengimbangi beberapa penurunan perdagangan dengan UE, tidak ada perjanjian yang disimpulkan hingga saat ini memiliki skala yang cukup untuk memiliki dampak material pada perkiraan kami," kata OBR.
Data resmi yang diterbitkan minggu lalu menunjukkan defisit neraca pembayaran Inggris melonjak menjadi 8,3 persen dari PDB pada kuartal pertama 2022. Artinya, negara tersebut harus semakin bergantung pada investasi asing untuk menebus biaya impor yang tinggi.
Berdasarkan hal tersebut, poundsterling telah jatuh tahun ini, tidak terbantu oleh ancaman Johnson untuk merobek bagian dari perjanjian Brexit yang dia tandatangani. Itu telah merusak hubungan dengan para pemimpin UE, dan membawa pembicaraan tentang pembalasan yang dapat meningkat menjadi perang dagang yang kemungkinan akan merugikan Inggris.
Lihat Juga : |