Majalah The Economist edisi 2 Juli 2022 mengambil judul "How to Win the Long War". Cerita sampul majalah terkemuka ini seolah mengamini perang Rusia-Ukraina akan berkepanjangan.Yang punya nafas panjang dan strategi seperti pelari maraton --dan bukan sprinter-- besar kemungkinan memenangi perang.
Tetapi siapa yang bakal menjadi pemenang di satu sisi dan pecundang di sisi lain dalam konflik Rusia-Ukraina? Belum ada yang memastikan. Toh kalkulasi Rusia akan mudah membekuk Ukraina meleset.
Justru kini dunia harus siap-siap kena dampak berkepanjangan. Perang, bukan hanya memakan korban jiwa dan aneka penderitaan, tapi juga membuat produksi pangan terganggu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Embargo dan sanksi ekonomi Amerika Serikat dan para sekutunya ke Rusia juga memperumit masalah. Jika perang berlarut-larut, produksi gandum, jagung, barley, dan biji bunga matahari dari Rusia dan Ukraina bakal merosot tajam. Pasalnya embargo membuat Rusia dan Ukraina defisit alat pertanian dan input produksi. Minat petani bertanam menurun karena hambatan ekspor. Akumulasi ini membuat produksi pangan turun.
Berulangkali Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengingatkan kepada para pemimpin dunia akan ancaman krisis pangan. Negara-negara di dunia perlu saling membantu, dan bukan justru saling mengunci ekspor pangan, untuk mengurangi penderitaan warga di negara-negara importir bersih pangan.
Apalagi, ancaman dampak perang Rusia ini juga terjadi bersamaan dengan datangnya krisis pangan akibat pandemi Covid-19 dan perubahan cuaca dunia. Kelaparan makin meluas. Kini sebanyak 275 juta penduduk dunia sulit memperoleh pangan (PBB, Juni 2022).
Jumlah stok pangan global dibandingkan dengan penggunaannya saat ini hanya 28%.
Dalam situasi normal, stok ini aman. Masalahnya, dunia sedang "tidak normal" karena diguncang perang.Karena perang itu, produksi gandum, pangan utama dunia, tahun depan diperkirakan menurun 1,5%. Produksi jagung juga ketat. Produksi beras dunia diperkirakan naik tipis 0,6%, sedangkan kedelai naik sekitar 3%.
Meskipun naik tinggi, produksi kedelai itu sebenarnya "normalisasi" akibat produksi yang super rendah di 2020-2021. Perkiraan pangan yang menurun ini pertanda bunyi lonceng krisis pangan.
Barangkali karena itu, The Economist, 23 Juni 2022, menampilkan tulisan "A Wave of Unrest is Coming". Tulisan itu mengingatkan, inflasi pangan dan energi yang terjadi saat ini di berbagai negara telah sampai pada titik mengkhawatirkan. Karena potensial menimbulkan keresahan sosial yang berujung pada destabilisasi politik.
The Economist memakai frasa hungry and angry untuk menggambarkan potensi yang dapat terjadi akibat situasi saat ini. Harga pangan dan energi yang tinggi adalah persoalan riil yang dihadapi warga di banyak negara.
Inflasi pangan dan energi jadi perampas kesejahteraan mereka.
Bank Dunia (Juni, 2022) memperkirakan kenaikan harga pangan di banyak negara telah mencapai 15%. Khusus produk pangan dunia, harganya 80% lebih tinggi ketimbang dua tahun lalu.
Stok pangan saat ini, dan perkiraan produksi tahun depan yang menurun, menjadi sinyal gambaran suplai ke depan. Ekspektasi suplai yang menurun bisa berbuah kepanikan. Bercampur spekulasi, kepanikan akan membuat harga pangan naik tak terkendali bagai roller coaster.
Jika pemimpin politik dan pengendali pemerintahan tak mampu mengendalikan situasi, keresahan -dan kerusuhan-bisa terjadi kapan saja.
Celakanya, berkaca pada kejadian 2008 dan 2011, ternyata krisis pangan selalu bersentuhan dengan instabilitas politik.
Krisis pangan 2008 memantik kekerasan di Pantai Gading, 24 orang mati dalam huru-hara di Kamerun dan pemerintahan Haiti jatuh. Krisis pangan 2011 berbuah perang sipil dan telah menciptakan revolusi politik Arab Spring di jazirah Arab. Rezim Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir dan Moammar Khadafy di Libya jatuh karena negara-negara ini menggantungkan 90% pangannya dari impor.
Selain memasok sebesar 34,1% gandum ke pasar dunia, Rusia dan Ukraina juga menyuplai 72,7% minyak biji matahari, 26,8% barley, 23,9% biji bunga matahari, dan 17,4% jagung. Total, Rusia dan Ukraina memasok 12% total kalori yang diperdagangkan di dunia.
Saat ini, ada 50-an negara yang bergantung pada pasokan gandum dari Rusia dan Ukraina. Dari 50-an negara itu, ada sejumlah negara yang 80% pasokan biji-bijian bergantung pada Rusia dan Ukraina. Seperti Benin dan Kongo di Afrika; Mesir, Qatar, dan Lebanon di Timur Tengah; dan Kazakhstan dan Azerbaijan di Asia Tengah.
Sialnya, di negara-negara importir pangan ini, inflasi amat tinggi.
Misalnya, Turki. Lira yang terjun bebas mendorong inflasi makanan jadi 64,5% (year on year). Kazakhstan, Azerbaijan, Mesir, Kongo, Lebanon, Turki, dan Armenia -untuk menyebut contoh-menghadapi risiko serius. Negara-negara ini tidak hanya tergantung akut pada biji-bijian Rusia-Ukraina, tapi mayoritas warganya memakai ponsel, pemuda menganggur tinggi, dan indeks demokrasinya rendah.
Kenaikan harga pangan plus inflasi jadi "bahan bakar" yang ampuh dan mudah buat menggerakan kerusuhan sipil (Jaochim Klement, 2022).
Indonesia memang lebih baik dari banyak negara lain. Tingkat inflasi Indonesia masih relatif rendah. Namun, inflasi pangan pada Mei 2022 (yoy) telah menyentuh antara 5,6%-6,1%.
Biasanya, Mei identik dengan tingkat inflasi pangan rendah karena masih musim panen aneka tanaman pangan (padi, jagung, tebu, dan lainnya). Namun kali ini berbeda. Karena itu, bisa dimengerti Presiden Jokowi berulangkali mengingatkan para menterinya akan adanya ancaman inflasi pangan dan energi.
Menurut Presiden, ancaman itu nyata dan semua harus disikapi hati-hati dan serius. Langkah antisipasi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan terencana, disertai rasa empati dan sense of crisis yang tinggi.
Dihadapkan pada ruang fiskal yang sempit, bantalan bagi kelompok miskin dan rentan harus jadi prioritas. Bantuan langsung tunai, program sembako, program keluarga harapan, dan program sejenis adalah jaring pengaman sebagai wujud kehadiran negara.
Operasi pasar atau bazar murah insidentil bisa memberikan pilihan pada warga. Ini semua solusi jangka pendek.
Dalam jangka menengah, perlu aksi menggenjot produksi pangan di hulu, memperbaiki rantai pasok yang tak efisien, dan memastikan pasar mendekati persaingan sempurna.
Yang lapar mudah marah. Itu berbahaya. Dengan bauran kebijakan yang solid, diharapkan Indonesia tak terseret krisis pangan yang berujung krisis politik.
(vws/vws)