Komisi Asuransi Perbankan dan Regulasi China mendesak bank untuk menggelontorkan lebih banyak kredit kepada pengembang. Desakan mereka sampaikan demi menyikapi ancaman boikot pembayaran hipotek yang dilakukan oleh para pembeli pada proyek perumahan yang belum selesai di 50 kota China.
Tak hanya itu, mereka juga mendesak bank untuk melakukan pekerjaan dengan baik dalam layanan pelanggan, mematuhi kontrak, memenuhi komitmen, dan melindungi hak dan kepentingan sah konsumen keuangan. Langkah-langkah ini diperlukan untuk menjaga operasi pasar real estat di China supaya stabil dan teratur.
Mengutip AFP, Senin (18/7), pembeli rumah dilaporkan telah menghentikan pembayaran hipotek di setidaknya 100 proyek perumahan. Boikot itu dilakukan sebagai buntut atas kemarahan pembeli rumah atas penundaan pembangunan rumah pra-penjualan sampai batas waktu yang tidak jelas dan konstruksi yang dihentikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komisi Asuransi Perbankan dan Regulasi China khawatir boikot itu menular pada keuangan di sektor real estat yang bermasalah di negara itu. Maklum, sektor perumahan menyumbang 18 hingga 30 persen dari PDB Negeri Tirai Bambu.
Sektor itu juga pendorong utama pertumbuhan di ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Regulator bertemu pihak perbankan minggu lalu untuk membahas aksi boikot hipotek yang dilakukan di tengah banyaknya pengembang besar China tertatih-tatih di ambang gagal bayar utang.
Sebelumnya, sejumlah pengembang properti asal China mengalami masalah gagal membayar surat utang (obligasi). Salah satunya Shimao Group yang berbasis di Shanghai.
Mereka gagal membayar bunga dan pokok obligasi sebesar US$1 miliar atau setara Rp15 triliun (kurs Rp15.004 per dolar) yang jatuh tempo pada Minggu (3/7).
Mengutip CNN, ini adalah pembayaran utang pertama yang terlewatkan pada obligasi dolar oleh Shimao yang telah bergulat dengan meningkatnya tekanan keuangan selama berbulan-bulan.
Ada juga Evergrande yang terjerat utang senilai US$300 miliar atau setara Rp4.293 triliun (kurs Rp14.310 per dolar).
Setelah Evergrande, pengembang properti Fantasia juga mengalami masalah serupa. Dalam pernyataannya, Fantasia Holding gagal membayar US$205,7 juta atau setara Rp2,9 triliun (kurs Rp14.255 per dolar).
(fby/dzu)