Tauhid khawatir kenaikan harga komoditas dan lonjakan impor itu bisa terjadi imbas dari pemangkasan pupuk ini.
"Ketika subsidi dicabut, peluang pertama pasti harga naik. Peluang kedua, jika harga terlalu tinggi, barang tidak laku. Barang tidak laku, produk impor yang masuk," imbuhnya.
Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah untuk jangka pendek bisa menunda dulu kebijakan pemangkasan subsidi tadi dan menambah alokasinya. Lalu, pemerintah juga bisa melakukan investasi di sektor migas untuk kebutuhan pupuk dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, secara berangsur pemerintah dapat melakukan transformasi dari pupuk kimia ke pupuk alam yang bersifat organik. Dengan begitu, harga pupuk tidak lagi bergantung pada harga gas dunia.
Adapun untuk menambah anggaran subsidi pupuk, pemerintah bisa memanfaatkan pungutan ekspor dari komoditas pertanian lain seperti ekspor crude palm oil (CPO), karet, dan lain sebagainya.
"Pungutan ekspornya kan harusnya dikembalikan lagi ke sektor pertanian, jangan lari ke yang lain," tegas Tauhid.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga punya pendapat yang sama. Menurutnya, untuk memperkuat ketahanan pangan idealnya bukan mengurangi jumlah komoditas yang diberi pupuk subsidi, tapi penambahan alokasi anggaran subsidi.
"Petani rakyat di luar sembilan komoditas itu juga menghadapi biaya input produksi pertanian. Sementara dari harga jual ekspor maupun konsumen mulai alami penurunan, sehingga petani pun butuh support subsidi pupuk untuk meringankan beban produksi," kata dia.
Bhima juga menuturkan pencabutan subsidi pupuk untuk sektor tanaman juga berdampak terhadap penurunan kesejahteraan rumah tangga petani, meningkatnya alih profesi petani ke pekerjaan lain, dan pelemahan devisa ekspor pertanian.
Di sisi lain, masyarakat luas juga akan merasakan dampaknya. Sebab, harga komoditas pertanian di luar kesembilan yang dapat subsidi pupuk bisa naik.
Kenaikan komoditas pertanian ini pun bisa berimbas pada kenaikan inflasi. Padahal saat ini inflasi sudah melonjak melebihi masa pra pandemi.
Lihat Juga : |
"Imbas naiknya harga pangan sudah berkontribusi terhadap naiknya inflasi, paling terasa Juni lalu inflasi mencapai 4,35 persen, itu karena harga pangan yang dominan," ujar Bhima.
Alih-alih memangkas subsidi, kata Bhima, pemerintah justru harus menambah alokasi subsidi pupuk dua kali lipat menjadi minimal Rp50 triliun. Hal itu pun dilakukan paralel dengan upaya memperbaiki pengawasan dan pendataan di lapangan agar penyaluran pupuk subsidi tepat sasaran.
"Mohon ditinjau lagi, karena ruang fiskal untuk dorong subsidi pupuk masih lebar. Tinggal pemerintah berani menggeser alokasi dana infrastruktur hingga realokasi anggaran PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) yang belum terserap," kata Bhima.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih juga mengkritik kebijakan pemerintah yang kini hanya memberikan subsidi pada pupuk urea dan NPK.
Menurutnya, pemberian pupuk kimia sintetis, seperti urea dan NPK, tanpa diimbangi dengan pemberian pupuk organik, tidak bisa meningkatkan produktivitas lahan.
"Ini sekaligus menjawab pertanyaan presiden, mengapa pemberian subsidi pupuk triliunan, tidak menunjukan peningkatan produksi yang signifikan," sambung Henry.
Lebih lanjut, ia menyebut pemerintah sudah seharusnya memberikan subsidi pupuk pada semua komoditas. Hal tersebut agar selaras dengan hak atas pangan yang tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Petani dan Rakyat yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP).
Henry menambahkan jika pemerintah memang hanya akan menyalurkan subsidi pada sembilan komoditas saja, unsur fleksibilitas dalam kebijakan itu juga harus diterapkan. Dengan kata lain, pemerintah bisa mengubah kembali daftar komoditas yang diberi pupuk subsidi jika memang dibutuhkan.
"Fleksibilitas juga perlu, bila komoditas lain, diluar sembilan komoditas itu, membutuhkan subsidi pemerintah harus memberikannya. Karena komoditas lain juga krusial untuk hajat hidup orang banyak," kata Henry.