Curhat Jokowi soal Subsidi Pertalite, Dilema Daya Beli atau Jaga APBN

CNN Indonesia
Minggu, 07 Agu 2022 13:07 WIB
Presiden Joko Widodo mengatakan harga BBM jenis pertalite jika tak disubsidi bisa mencapai Rp17.100 per liter.
Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden

Naik Bertahap

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan pemerintah tak bisa terus menerus menyalurkan subsidi pertalite secara jor-joran. Apalagi ketidakpastian dunia meningkat, sehingga tak ada yang bisa menjamin harga minyak mentah dunia akan bertahan di level US$90-US$100 per barel dalam waktu mendatang.

Jika pemerintah terus mempertahankan harga pertalite di level Rp7.650 per liter, maka APBN lama-kelamaan akan boncos juga.

Ia mengusulkan pemerintah menaikkan harga BBM pertalite secara bertahap. Misalnya, menjadi sekitar Rp8.000 sampai Rp9.000 per liter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Naik bertahap Rp1.000-Rp1.500 per liter. Kenaikannya sedikit-sedikit jadi masyarakat tidak kaget," tutur Tauhid.

Dengan kenaikan bertahap, pemerintah bisa melakukan penyesuaian di APBN juga secara berkala. Alhasil, APBN akan jauh lebih sehat ke depannya.

Ia khawatir defisit APBN akan membengkak jika pemerintah tak menaikkan pertalite secara bertahap. Terlebih, pemerintah mewajibkan defisit APBN kembali di bawah 3 persen mulai tahun depan.

"Khawatirnya kalau harga pertalite tak bisa naik, APBN dikorbankan, defisit bisa di atas 3 persen," katanya.

Tauhid mengerti pemerintah ingin menjaga daya beli masyarakat. Kalau harga pertalite naik, maka inflasi otomatis akan meningkat.

Lonjakan inflasi akan membuat konsumsi masyarakat berkurang. Ujung-ujungnya, ekonomi domestik akan bergejolak.

Tapi dilemanya, kalau pemerintah tak menekan subsidi energi dengan menaikkan harga pertalite secara bertahap, maka APBN jadi taruhannya.

"Memang pemerintah menyelamatkan inflasi, tapi lama-lama (APBN) bisa jeblok," imbuh Tauhid.

APBN memang sedang surplus beberapa bulan terakhir. Namun, hal itu terjadi karena pemerintah belum mengeksekusi belanja secara maksimal.

Tauhid memproyeksi APBN tetap defisit hingga 4 persen pada akhir 2022. Untuk tahun depan, hal itu akan bergantung dengan keputusan pemerintah mengatur belanja dan subsidi.

"Akhir tahun ini tetap akan defisit, sekarang-sekarang lagi surplus itu bukan karena pemerintah efisiensi tapi kemampuan eksekusi belanja barang dan belanja modal belum optimal," ujar Tauhid.

Alihkan Dana IKN untuk Subsidi

Pendapat berbeda disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies Celios Bhima Yudhistira. Menurut dia, pemerintah harus tetap memberikan subsidi energi besar-besaran demi menjaga harga pertalite.

"Ketika masyarakat butuh subsidi energi, sudah sewajarnya dilakukan penambahan alokasi energi untuk mencegah daya beli turun karena inflasi tinggi kalau harga dilepas ke pasar," ungkap Bhima.

Ia membandingkan dengan Malaysia yang mampu menahan BBM RON 95 di level Rp6.800 per liter. Sementara, pertalite merupakan jenis BBM dengan RON lebih rendah, yakni 90.

Jadi, Bhima menilai seharusnya Pemerintah Indonesia bisa tetap mempertahankan harga pertalite di level Rp7.650 per liter.

"Malaysia juga mati-matian pertahankan harga subsidi karena khawatir kalau dibebankan ke konsumen, maka inflasi tinggi," kata Bhima.

Pemerintah, sambung Bhima, bisa mengalihkan dana pembangunan infrastruktur seperti ibu kota baru (IKN) untuk subsidi energi jika kekurangan dana. Jangan sampai, harga pertalite dilepas sesuai mekanisme pasar karena alasan APBN jebol.

"Anggaran-anggaran yang bisa direlokasi salah satunya dana untuk bangun infrastruktur, IKN ditunda dulu. Pembengkakan biaya kereta cepat Jakarta-Bandung jangan pakai uang negara," papar Bhima.

Selain itu, pemerintah juga bisa mengalihkan dana belanja pegawai, pengadaan barang dan jasa, hingga transfer daerah untuk subsidi energi.

"Kalau harga dilepas ke pasar akan menjadi beban masyarakat dan itu sangat merugikan pemulihan ekonomi," tutup Bhima.

(aud/bac)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER