Curiga Ada 'Udang di Balik Batu' dalam Genjot Mobil dan Kompor Listrik
Beberapa waktu belakangan pemerintah getol mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan listrik. Paling hangat, Presiden Jokowi memerintahkan semua instansi pemerintah untuk mengganti mobil dinas menjadi mobil listrik.
Perintah itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Merujuk data Kemenkeu, sekarang ini total kendaraan dinas pemerintah sebanyak 189.803 unit. Artinya, kendaraan sebanyak itu bakal diganti dengan mesin bertenaga setrum walaupun dilakukan secara bertahap.
Belakangan, pemerintah juga mendorong penggunaan listrik di rumah tangga, yakni konversi gas LPG 3 kg ke kompor induksi alis kompor listrik 1.000 watt. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun tengah melakukan uji coba penggunaannya di tiga kota; Denpasar, Solo, dan salah satu kota di Sumatera.
Untuk melancarkan program ini, pada tahap awal pemerintah bakal memberikan paket kompor listrik secara gratis kepada 300 ribu rumah tangga yang menjadi sasaran tahun ini. Adapun total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp540 miliar.
Selain itu, sempat beredar isu pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI sepakat untuk menghapus daya 450 VA dan menaikkannya menjadi 900 VA untuk rumah tangga. Hal ini pun disinyalir dilakukan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga menekan oversupply alias kelebihan pasokan listrik PT PLN (Persero).
Meski demikian, isu ini ditepis oleh Jokowi. Ia mengatakan tidak akan menghapus daya listrik paling rendah di rumah tangga itu.
"Tidak ada, tidak ada penghapusan untuk 450 VA. Tidak ada juga perubahan dari 450 VA ke 900 VA. Tidak ada, tak pernah bicara seperti itu," katanya usai peresmian Tol Serpong-Balaraja dan Cibitung-Cilincing Selasa (20/9).
Lihat Juga : |
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai ambisi pemerintah untuk mendorong penggunaan listrik ini lebih banyak dilakukan di hilir. Karenanya, ini menjadi tanda bahwa ada masalah dalam pasokan listrik yang berlebih atau oversupply.
Nah, untuk mengatasi masalah itu, pemerintah berupaya melakukan berbagai cara meningkatkan penggunaan listrik.
"Jadi penyelesaianya dipilih dengan cara paling instan; peningkatan demand di sisi hilir," ujar Abra kepada CNNIndonesia.com.
Tapi, apa benar PLN kelebihan kapasitas?
Oversupply memang terjadi di wilayah Jawa-Bali. Awal tahun ini saja, Dirut PLN Darmawan Prasodjo mengatakan akan ada tambahan pasokan 6 gigawatt (GW) di Jawa. Padahal, tambahan permintaan hanya 800 megawatt (MW). Artinya, ada kelebihan sebanyak 5 GW.
Kelebihan daya ini diproyeksi bisa meningkat menjadi 7,4 GW pada 2023. Bahkan diperkirakan bisa tembus 41 GW di 2030, seiring dengan penerapan energi baru terbarukan (EBT).
Dikatakan setiap 1 GW, PLN harus menanggung beban sekitar Rp3 triliun per tahun karena dalam kontrak jual-beli listrik dengan produsen listrik swasta terdapat skema take or pay. Dengan kata lain, listrik yang dipakai atau tidak yang diproduksi IPP, PLN tetap harus membayar sesuai kontrak.
Abra mengatakan terkait ambisi pemerintah mendorong penggunaan listrik di sisi demand pun tetap memiliki tantangan. Misalnya, untuk penggunaan mobil listrik bagi operasional pemerintahan pusat dan daerah, peta jalan dan infrastrukturnya pun belum jelas.
Lihat Juga : |
Masalah standar jenis mobil listrik yang tepat digunakan pun masih dalam kajian. Selanjutnya, infrastruktur pendukung seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) jumlahnya terbilang masih sedikit dan belum merata.
Berdasarkan data PLN, tercatat hingga saat ini sudah tersedia 150 unit SPKLU PLN pada 117 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun rencana penambahan sampai akhir 2022 akan terbangun lagi sejumlah 110 unit SPKLU.
Sementara SPBKLU yang terbangun hingga saat ini baru 5 unit yang terpasang di Jakarta dan 2 unit di Surabaya. PLN pun baru berencana akan membangun 70 unit SPBKLU dengan jumlah sekitar 300 baterai dan lokasi tersebar di Pulau Jawa dan Bali.
"Kenapa pemerintah justru berambisi sekali ingin mendorong penggunaan mobil listrik tapi dari infrastrukturnya belum memadai di daerah-daerah? Bahkan di Jakarta sendiri masih terbatas," kata Abra.
Sedangkan terkait konversi kompor listrik, aturan mengenai tarifnya pun belum jelas. Program kompor listrik yang ditujukan untuk masyarakat miskin dengan daya listrik 450 VA dan 900 VA akan dilakukan secara gratis.
Pemerintah akan mengganti Miniature Circuit Breaker (MCB) meteran listrik pelanggan golongan tersebut agar bisa menggunakan kompor listrik 1.000 watt.
MCB konsumen daya listrik 450 VA nantinya akan diganti menjadi 3.500 watt. Setelah mendapat tambahan daya ini, belum jelas masyarakat akan dikenakan tarif tambahan atau tetap tarif subsidi.
Menurut Abra, jika tarif yang dikenakan adalah tarif normal, ini akan memberatkan masyarakat miskin. Sedangkan jika diberikan jaminan tarif subsidi, penetapan tarifnya pun belum diatur dasar hukumnya.
"Belum ada regulasi yang mengatur tarif listriknya, ini seharusnya dibuat dulu dasar hukumnya. Supaya ada kepastian hukum bagi konsumen dan juga bagi PLN ketika menentukan tarif," sambung Abra.
Berdasarkan keadaan ini, ia kembali menyimpulkan bahwa tindakan pemerintah menggenjot program yang berkaitan dengan penggunaan listrik, seiring dengan upaya menekan oversupply listrik PLN.
"Itu motif yang tidak bisa dihindari bahwa perluasan mobil listrik dan kompor induksi ini memang jadi bagian atau strategi pemerintah untuk mengurangi oversupply listrik kita di Indonesia," kata Abra.
Kalau kecurigaan ini benar, menurutnya langkah ini hanya efektif dalam jangka panjang. Sebab, pemerintah perlu menyelesaikan hambatan-hambatan tadi.
Memang, pemerintah punya peta jalan yang disebut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Tapi RUPTL ini pendekatannya hanya dari sisi supply.
Menurut Abra, dari sisi demand perintah pun perlu membuat peta jalan yang jelas.
"Jadi dari tambahan supply tadi, sektor mana saja yang akan menyerap listrik. Baik dari industri, rumah tangga, bisnis, dan sebagainya. Kemudian di-breakdown apa saja utilitas atau peralatan yang kan dijadikan sebagai basis penggunaan listrik tadi," ujar Abra.