Hampir Sebulan Perpres Soal Pembatasan Pertalite Belum Diteken
Sudah hampir satu bulan revisi Perpres 191/ 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) tak kunjung diteken oleh Presiden Joko Widodo.
Padahal, pemerintah sendiri sudah menaikkan harga BBM sejak awal September kemarin. Seharusnya kenaikan itu dilakukan bersamaan dengan dirilisnya revisi perpres tersebut.
Sebab, tujuan kenaikan BBM karena subsidi yang hampir jebol sehingga perlu ada pembatasan pembelian dan penyesuaian harga.
Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah untuk segera menerbitkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 untuk mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. Sehingga, subsidi yang dialokasikan untuk masyarakat miskin tidak dinikmati kalangan mampu.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan, pihaknya mendukung revisi karena selama ini BBM bersubsidi masih belum tepat sasaran.
Sejak April 2022, DPR sudah meminta pemerintah untuk segera merevisi perpres tersebut dengan mendetailkan syarat terkait warga yang berhak membeli BBM bersubsidi.
Sebelumnya, Direktur BBM Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Patuan Alfon Simanjuntak mengatakan revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 sudah diserahkan ke Kementerian BUMN sejak akhir Agustus 2022.
"Sudah rampung, sudah. Saat ini, final di Kementerian BUMN," ujar Alfon kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Pernyataan Alfon juga ditegaskan oleh anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman yang mengatakan revisi perpres juga sudah diserahkan ke Kementerian BUMN. Setelah itu, draf tersebut akan diberikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia menyebutkan salah satu kriteria kendaraan yang dilarang menggunakan pertalite adalah mobil dengan spesifikasi di atas 1.400 cc.
"Nanti kita tunggu perpresnya, most likely di atas 1.400 cc (yang tidak boleh menggunakan pertalite)," ujar Saleh.
Tapi apa buktinya? Sampai sekarang revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 seakan masih menjadi misteri.
Sikap pemerintah yang terkesan mengulur-ulur rilisnya revisi beleid tersebut seolah-olah menunjukkan kalau pemerintah tidak serius membatasi pembelian BBM bersubsidi.