Ekonom Tepis Bayang-bayang Krismon 1997 Jelang Resesi Global

CNN Indonesia
Jumat, 07 Okt 2022 17:17 WIB
Ekonom menepis bahwa kondisi ekonomi RI saat ini, ketika ancaman resesi global menghantui, dibayangi krisis moneter 1997-1998 silam. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah lembaga asing memperingatkan soal ancaman resesi global yang akan terjadi pada tahun depan.

Bank Dunia (World Bank) memproyeksi sejumlah negara resesi pada 2023. Bahkan, ada kans Indonesia menjadi salah satu negara yang terancam resesi.

Namun, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, perekonomian Indonesia sebenarnya masih cukup sehat. Meski masih ada potensi risiko resesi ekonomi sebesar 3 persen.

"Kita (Indonesia) relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risiko (potensi resesi) 3 persen," ujar Ani, sapaan akrabnya, dalam konferensi pers di Nusa Dua, Rabu (13/7) lalu.

Nah, sebelumnya, Indonesia pernah mengalami krisis moneter pada 1997 hingga 1998 dan 2008. Krisis pada 1997-1998 dipicu karena permasalahan keuangan negara-negara di Asia.

Di Indonesia, rupiah ambruk. Nilai mata uang garuda melonjak tajam dari Rp2.600 menjadi Rp16 ribu per dolar AS. Padahal, sepanjang 1990-1996, nilai tukar rupiah selalu berada di Rp1.901-Rp2.383 per dolar AS.

Tidak jauh beda dengan krisis 1998, krisis ekonomi pada 2008 terjadi karena masalah keuangan global yang bermula di Amerika Serikat.

Ani mengatakan risiko dari krisis keuangan 2008 silam lebih menyasar ke sektor keuangan dan korporasi.

"Kalau dulu kan melalui lembaga keuangan, korporasi jatuh, lalu pemutusan hubungan kerja (PHK) paling," katanya.

Lalu apakah krismon seperti pada 1997 dan 2008 bisa terulang kembali?

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan situasi ekonomi saat ini tidak bisa disamakan dengan krismon 1997 maupun krisis keuangan 2008. Alasannya, kondisi saat ini lebih mirip dengan resesi yang terjadi pada 1970 silam.

Pada resesi 1970, yang terjadi akibat krisis minyak karena perang teluk, banyak negara bergejolak dan mengalami hiperinflasi.

"Persamaan 1970 dengan 2022 adalah kenaikan harga minyak akibat perang menyebabkan krisis energi, krisis pangan, tekanan mata uang, dan ujungnya adalah inflasi di berbagai negara," terang dia kepada CNNIndonesia.com, Jumat (7/10).

Sementara, krisis moneter 1997 disebabkan oleh permasalahan keuangan yang hanya terjadi di kawasan Asia. Kondisi itu disebut Asian financial crisis.

Sedangkan, krisis keuangan 2008 disebabkan oleh masalah kredit perumahan atau krisis sektor keuangan AS.



Bhima mengatakan skenario krisis 1970 yang terjadi efeknya bisa lebih berisiko bagi perekonomian domestik dibandingkan krisis moneter 1997 atau krisis keuangan 2008.

"Mau ekspor, ketika terjadi skenario 1970 harga komoditas menurun, permintaan di berbagai negara pun melemah, investor juga akan lebih hati-hati dalam mendanai proyek di negara berkembang," imbuhnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sepakat dan menegaskan bahwa kondisi saat ini berbeda dengan krisis moneter 1997.

Pada saat itu, terjadi hiperinflasi yang berakibat nilai tukar melonjak sangat tajam. Penyebabnya, jatuh tempo pembayaran utang di beberapa negara termasuk ASEAN yang kemudian berimbas ke Indonesia.

"Kalau krisis ini (2022) kan lebih kepada disebabkan perang Rusia-Ukraina. Dampak dari proteksionisme produk domestik hingga perang pengaruh antara AS-China," tutur Nailul.

Ia mengatakan krisis saat ini bisa ditanggulangi dengan perjanjian bilateral, membuka kembali perdagangan, dan penghentian perang Rusia-Ukraina.

Ia mencontohkan krisis akibat kenaikan harga minyak saat ini mulai bisa diatasi dengan peningkatan produksi oleh OPEC dan Rusia.

(fby/bir)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK