Lonjakan inflasi pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah ketidakpastian ekonomi global langsung terasa bagi masyarakat kelas menengah bawah.
Kondisi ini juga pernah diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan ekonomi global akan terjerembab ke jurang resesi pada tahun depan.
Ancaman resesi global ini salah satunya dipicu oleh kebijakan agresif sejumlah bank sentral dunia yang menaikkan bunga acuan demi meredam lonjakan inflasi. Kebijakan itu pun berakibat menekan pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati, Sri Mulyani mengatakan ekonomi Indonesia masih cukup aman dari ancaman resesi. Namun, omongan Sri Mulyani rupanya tak berbanding lurus dengan yang dirasakan oleh masyarakat.
Seperti Kusni, pemilik toko kelontong di Depok, yang mengeluh susah menghadapi kondisi saat ini. Ia mengaku biaya hidup makin berat karena semua harga barang menjadi mahal.
"Semua naik, beras, minyak turun tapi dibatasi, sayuran juga mahal," keluh Kusni soal harga bahan-bahan pokok kepada CNNIndonesia.com, Kamis (13/10).
Ibu 48 tahun itu menyinggung soal harga tempe dan tahu yang diklaim sebagai bahan makanan paling murah. Faktanya, hal tersebut sudah tidak relevan.
"Sekarang tempe dan tahu juga naik. Tempe satu papan tadinya Rp5.000, sekarang jadi Rp7.000-8.000. Jadi kita makin susah," sambungnya.
Kusni yang mempunyai 3 orang anak itu juga mengeluhkan soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak ke harga-harga bahan pokok lain.
"Mungkin ada yang bilang itu disubsidi bantuan sosial (bansos), tapi kan gak semua dapat. Saya enggak dapat (bansos). Selama ini enggak pernah dapat bansos jenis apapun," terangnya.
Meski ia tak mengerti apa itu istilah resesi, inflasi, dan stagflasi, Kusni mengaku khawatir tentang kondisi perekonomian Indonesia di masa mendatang.
"Saya gak pernah ngeh segitunya (resesi, inflasi, dan stagflasi), tapi ya saya khawatir pasti. Kita kan selama pandemi covid-19 itu susah banget, apalagi sekarang harga-harga naik jadi makin susah," jelas Kusni.
Anak sulung Kusni adalah seorang driver ojek online. Sementara, anak kedua yang semula bekerja sebagai sales di Glodok, Jakarta terkena PHK saat pandemi covid-19 dan hingga kini belum bekerja lagi. Sedangkan si bungsu masih kuliah semester 7.
"Biaya kuliah mahal. Makanya kita makan pun yang penting ada nasi, lauknya telur dadar atau bikin nasi goreng, bisa juga pakai mie. Semua sudah mahal, untuk lauk tahu dan tempe sekeluarga saja sudah gak cukup Rp20 ribu per hari," pungkasnya.
Hampir sama, Widayanti alias Yanti selaku penjaga kost di Depok juga mengeluhkan harga-harga yang makin naik. Namun, itu tidak dibarengi dengan kemudahan mendapatkan pekerjaan.
"Harga bahan pokok yang paling kerasa mahal itu telur, sama beras, kalau minyak kan udah turun ya. Telur tadinya Rp22 ribu per kg sekarang naik jadi Rp26 ribu per kg. Kalau beras biasanya bisa beli Rp8 ribu per liter, sekarang udah tembus Rp12 ribu," jelas Widayanti.
Widayanti yang harus pulang-pergi mengantar anak sekolah pun merasakan dampak kenaikan harga BBM.
"Tadinya saya isi bensin seminggu sekali cukup, sekarang harus dua kali per minggu. Apalagi anak sekarang aktif sekolah, ada les juga, bahkan bisa lebih dari dua kali per minggu isi bensin full tank," jelasnya.
Yanti, mengaku pernah mendengar istilah resesi, inflasi, dan stagflasi. Namun, ia tidak benar-benar paham apa yang dimaksud dari itu.
"Saya khawatir (resesi). Kalau misal banyak yang di-PHK berarti lapangan kerja berkurang, pendapatan juga berkurang. Khawatir juga bagaimana harga-harga. Sudah pendapatan berkurang, harga naik, makin susah dong cari uang," keluhnya.
Yanti berharap ke depan semakin banyak lapangan pekerjaan serta harga-harga bahan pokok tidak naik terus.
Sementara itu, Yuyun seorang penjual bubur ayam di belakang gerbang Kukusan Kelurahan Universitas Indonesia juga mengeluhkan soal kondisi ekonomi saat ini.
"Rezeki emang ada aja, tapi ya gimana ekonomi lagi kayak begini, pada mahal. Paling kerasa tuh minyak goreng. Emang udah turun sih, tapi ya dibatasi," tutur Yuyun.
Ia mengaku kondisi ekonomi sekarang susah dan harga-harga hampir semua naik. Meski begitu, ia mengaku tak tega untuk menaikkan harga jualannya yang kini masih dijajakan dengan harga Rp12 ribu per porsi.
"Saya jual bubur kan pakai telur puyuh, lumayan mahal Rp35 ribu per kg. Harga cabai juga naik-turun. Sekarang sih Rp50 ribu per kg, tapi waktu itu sempat Rp120 ribu per kg. Kenaikan harga BBM juga lumayan terasa, padahal motor saya terbilang irit," keluhnya.
Yuyun mengaku khawatir soal kondisi ekonomi Indonesia mendatang. Sebagai penjual bubur ayam dari 2018, ia berharap pemerintah bisa memperhatikan perekonomian pedagang dari kelas menengah ke bawah. Bahkan, ia berharap mendapatkan bantuan modal.