Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjelaskan soal pemberian izin hak guna bangunan (HGB) bagi investor di Ibu Kota Nusantara (IKN) selama 80 tahun dan dapat diperpanjang hingga 160 tahun tak menyalahi aturan.
Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana mengungkapkan pemberian izin HGB hingga 80 tahun dan dapat diberikan siklus kedua selama 80 tahun berikutnya sudah sesuai dengan UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.
"Tidak menyalahi UU PA. Karena diberikan secara bertahap," kata Suyus, Rabu (26/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan regulasi dalam UU PA Tahun 1960 menyebutkan pemberian HGB hanya boleh sampai 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun.
Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto sempat menyampaikan bahwa pemerintah memberikan izin HGB bagi investor di IKN selama 80 tahun, dengan pemberian izin pertama 30 tahun, perpanjangan 20 tahun, dan pembaruan 30 tahun.
Hadi mengklaim jika pemberian izin HGB benar-benar dipergunakan dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas, pemerintah bisa memberikan pertimbangan untuk pemberian izin pada siklus yang kedua hingga 80 tahun berikutnya. Tujuannya adalah menarik penanam modal agar bisa berinvestasi sebaik-baiknya.
"Langkah tersebut akan bermanfaat buat semua pihak, baik kesejahteraan mereka yang bermukim di sana, ataupun oleh pelaku usaha itu sendiri," kata Hadi Tjahjanto.
Di lain kesempatan, Kepala Biro Humas Kementerian ATR/BPN Yulia Jaya Nirmawati menyampaikan bahwa peraturan pemerintah (PP) terkait pemberian izin HGB 80 tahun hingga 160 tahun di IKN sedang dalam pembahasan di Kementerian ATR/BPN.
PP tersebut ditargetkan selesai pada Oktober 2022 sebagai upaya mempercepat pembangunan IKN.
"PP-nya sedang dibahas untuk pelaksanaannya. Insyaallah bulan ini selesai," katanya.
Langkah Kementerian ATR ini sempat dikritisi oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Berbeda dengan pernyataan Suyus, Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyebut tawaran itu melanggar UUPA 1960.
Kata Dewi, dalam UUPA juga tidak ada ketentuan soal pembaruan hak atas tanah dan tidak mengenal pembagian siklus dalam pemberian hak atas tanah.
Dewi berpendapat jika tawaran tersebut mengacu pada UU Cipta Kerja, maka tetap tidak sah. Sebab, UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia menegaskan aturan HGB mesti merujuk pada UUPA 1960 sebagai payung hukum agraria nasional, yang tak lain merupakan terjemahan dari Pasal 33 UUD 1945.
Dalam pasal tersebut, kata Dewi, dijelaskan bahwa tanah dan air harus digunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan melarang adanya monopoli tanah oleh segelintir kelompok.
Atas dasar itu, Dewi mengkritik pemerintah berambisi membangun proyek di IKN sampai rela melakukan penyimpangan terhadap UU dan konstitusi.