Selain mencari alternatif tujuan ekspor, lanjut Bhima, pemerintah juga perlu menggalakkan pasar di dalam negeri. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan relaksasi pada pajak pertambahan nilai (PPN).
Menurutnya, PPN yang saat ini mencapai 11 persen bisa ditekan ke level 7 hingga 8 persen.
"Ini agar barang yang tadinya diekspor bisa diserap oleh pasar domestik. Kita perlu insentif fiskal itu," kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bhima mengatakan jika pasar dalam negeri berkembang, maka perusahaan akan terus melakukan ekspansi bisnis. Dengan begitu, ancaman PHK pun bisa diminimalisir, bahkan dihilangkan.
Jika hal tersebut sudah bisa dilakukan, PR selanjutnya adalah bagaimana pemerintah mendorong kelas menengah atas untuk berbelanja di dalam negeri.
Sementara, untuk mendorong belanja kelas menengah bawah, menurut Bhima pemerintah bisa mengerek nominal bantuan subsidi upah (BSU) dari yang sekarang sudah diberikan. Adapun nominal BSU saat ini adalah sebesar Rp600 ribu per orang.
Tak hanya itu, Bhima juga mengatakan pemerintah bisa memperpanjang restrukturisasi kredit untuk perusahaan sektor padat karya.
Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang berpotensi mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.
Menurutnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat memperpanjang restrukturisasi kredit dari yang awalnya hingga Maret 2023 paling tidak sampai 2025.
Bhima menambahkan pemerintah juga bisa memberikan diskon listrik kepada perusahaan padat karya.
"Jadi misalnya diskon 40 persen, ini bisa juga membantu untuk mempertahankan operasional bisnis perusahaan," tandasnya.
(mrh/agt)