Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memprediksi nasib rupiah pada 2023 usai mata uang Indonesia itu lesu sepanjang tahun ini.
Nilai tukar rupiah sempat melemah ke level Rp15.540 per dolar AS di perdagangan pasar spot pada Kamis (20/10). Posisi rupiah ini menjadi yang terlemah sejak April 2020.
"Rupiah dalam beberapa bulan terakhir melemah cukup cepat, tapi sejalan dengan prediksi pengetatan moneter dan inflasi yang lebih rendah dibandingkan tahun ini, maka tekanan terhadap rupiah dan capital outflow yang berkaitan dengan nilai tukar rupiah akan lebih rendah tahun depan," katanya dalam CORE Economic Outlook 2023: Harnessing Resilience against Global Downturn, Rabu (23/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Faisal menyinggung soal cadangan devisa yang bisa digunakan untuk memerangi pelemahan nilai rupiah. Ia menilai cadangan devisa RI masih aman dan sanggup membiayai sekitar 6 bulan impor.
Dalam acara yang sama, Ekonom CORE Etikah Karyani menjelaskan soal nasib rupiah pada 2023. Ia mengamini bahwa rupiah mengalami tekanan, tapi masih terlihat cukup baik dibanding negara di kawasan.
Di lain sisi, dolar AS memang masih menguat akibat didorong oleh pengetatan kebijakan moneter agresif dan penarikan modal dari berbagai negara ke AS.
"Ekonomi global suram, namun Indonesia bertahan dengan pemulihan ekonominya dan perbankan stabil dan sehat karena pasar konsumsi masih tinggi, stimulus dari pemerintah, dan kolaborasi kelompok usaha bank (KUB)," kata Etikah.
Sebelumnya, beberapa analis juga memproyeksi rupiah bisa makin tertekan hingga akhir tahun. Analis Pasar Uang Ariston Tjendra memprediksi peluang pelemahan rupiah masih terbuka. Bahkan, ia mengamini potensi rupiah tembus Rp16 ribu per dolar AS.
Beberapa faktor yang menyebabkan pelemahan ini adalah suku bunga acuan bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed) dan Bank Indonesia (BI) yang menanjak, sehingga pelaku pasar mengalihkan sebagian portofolio ke aset dolar AS.
Selain itu, pasar mulai mengantisipasi risiko resesi akibat suku bunga dan inflasi tinggi sehingga sebagian modal masuk ke aset aman dolar AS.
Analis DCFX Futures Lukman Leong juga mengamini pelemahan rupiah terhadap dolar AS, terutama karena kebijakan kenaikan suku bunga agresif dari The Fed.
"Untuk akhir tahun, kemungkinan besar masih di bawah Rp16 ribu," ujar Lukman.
Selain kenaikan suku bunga The Fed, pelemahan rupiah juga dipicu oleh inflasi. Ekspektasi inflasi Indonesia ke depan juga meningkat, salah satunya disebabkan kenaikan harga BBM.
"Hal ini menyebabkan banyak investor terutama asing, melepas obligasi pemerintah oleh ekspektasi suku bunga yang lebih tinggi ke depan," pungkasnya.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengklaim depresiasi mata uang garuda masih lebih baik dibandingkan bath Thailand, ringgit Malaysia, dan rupee India.
"Relatif Lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya seperti India 10,42 persen, Malaysia 11,75 persen, dan Thailand 12,55 persen," kata dia dalam konferensi pers, Kamis (20/10).
Perry mengatakan depresiasi ini seiring dengan menguatnya dolar AS dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara.
Oleh karena itu, ia menyampaikan BI akan terus mencermati pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi sesuai bekerjanya mekanisme pasar dan fundamentalnya.
Selain itu, kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah juga akan diarahkan untuk menjaga tingkat imported inflation, serta stabilitas makro ekonomi domestik.