Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mencurigai sejumlah orang kaya membebani BPJS Kesehatan dengan biaya tinggi pengobatan mereka.
Menurutnya, peserta BPJS Kesehatan dari golongan masyarakat kaya seharusnya tidak bergantung banyak pada pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut.
Sebagai gantinya, orang kaya seharusnya mengombinasikan iuran jaminan sosial BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta untuk mengobati penyakit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan demikian itu kan memastikan BPJS tidak kelebihan bayar, dan kelebihan bayarnya tidak diberikan ke orang-orang yang seharusnya tidak dibayar (orang kaya). Karena saya juga dengar sering sekali banyak orang-orang yang dibayarin besar itu banyaknya, mohon maaf, orang-orang kadang konglomerat juga," ujar Budi dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (22/11).
Untuk membuktikan kecurigaannya, Budi berjanji akan mengecek data 1.000 orang dengan tagihan biaya perawatan kesehatan BPJS Kesehatan paling tinggi. Setelah itu, ia akan mengukur kekayaan 1.000 orang itu melalui besaran VA listrik yang dikonsumsi.
Menurutnya, jika peserta BPJS Kesehatan tersebut memiliki besar VA di atas 6.600, maka ia tergolong ke dalam masyarakat yang mampu alias kaya.
"Saya mau tarik datanya, saya mau lihat itu PLN-nya besarnya berapa. Kalau VA-nya di atas 6.600, yang pasti itu adalah orang yang salah," kata Budi.
Selain itu, ia juga akan melihat limit kartu kredit dari 1.000 peserta tadi. Jika peserta memiliki dana di kartu kredit mencapai ratusan juta, kata Budi, mereka bukan sasaran BPJS Kesehatan.
"Lihat limit kartu kreditnya berapa, kalau dia gak punya ya benar (dia orang tidak mampu), (kalau) tahu-tahu kartu kreditanya Rp100 juta, itu orang yang gak tepat kami bayarin," katanya.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Asuransi dan Dosen Program MM-Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Kapler Marpaung mengatakan sah-sah saja orang kaya menggunakan BPJS Kesehatan.
Menurutnya, setiap peserta JKN mempunyai hak yang sama untuk menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah. Karenanya, kecurigaan menkes itu dirasa tidak perlu.
"Apalagi kan orang kaya itu membayar premi/iuran mungkin jumlahnya lebih tinggi," kata Kapler kepada CNNIndonesia.com.
Meski demikian, ia tidak menampik bahwa dalam program JKN ada moral appeal agar orang kaya membantu peserta kurang mampu atawa subsidi silang.
Terkait hal ini, Kapler menilai seharusnya menkes cukup mengimbau saja kepada kalangan orang kaya atau konglomerat, agar bisa mengutamakan kesempatan kepada peserta kurang mampu dalam memanfaatkan JKN.
Disamping itu, ia juga mengatakan memang ada kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan asuransi komersial tentang Coordination of Benefit (COB).
Dalam hal ini, kalangan atas menggunakan BPJS saat benefit asuransi komersial mereka sudah habis atau minim.
Menurut Kapler, kecurigaan menkes akan pengeluaran BPJS Kesehatan lebih banyak dinikmati orang kaya atau konglomerat itu perlu di audit. Ia juga agak curiga dengan pernyataan menkes itu.
"Kalau betul ya, kita perlu mengimbau para konglomerat, tetapi jangan sampai karena di BPJS Kesehatan tidak proper dalam menjalankan manajemennya, yang disalahkan para konglomerat," kata dia.
Kapler menambahkan BPJS Kesehatan menawarkan kepada peserta bahwa BPJS juga bisa memberikan fasilitas rawat jalan eksekutif kepada yang mampu tanpa harus lebih dahulu ke Puskesmas, asal membayar tambahan premi.
"Jadi tidak perlu disalahkan atau dicurigai orang kaya, yang ada perlu imbauan bahwa program BPJS Kesehatan ini adalah berasaskan gotong royong, yang kuat diharapkan bisa membantu yang kurang kuat atau lemah," imbuhnya.
Bersambung ke halaman berikutnya...
BPJS untuk Semua Kalangan
Hal serupa juga disampaikan oleh Pengamat Asuransi sekaligus anggota Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (KUPASI) Dedy Kristianto. Ia menyebut apa yang disampaikan oleh menkes tadi adalah suatu permasalahan klasik BPJS Kesehatan yang dari dulu sudah ada.
Namun, kata dia, perlu dipahami sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, BPJS ini diperuntukan untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, tidak ada pengecualian kaya atau miskin.
BPJS Kesehatan pun mengklasifikasikan mereka yang ikut ke dalam golongan-golongan yang tidak mampu melalui jalur Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayarkan oleh APBN dan APBD dan jalur mandiri yang bayar sendiri karena kemampuan yang dimiliki.
"Belum lama ini juga pemerintah sesuai dan inline dengan amanat Undang-Undang itu juga mewajibkan kepemilikan BPJS Kesehatan bagi semua masyarakat untuk segala keperluan pengurusan administrasi. Dengan demikian mau masyarakat miskin dan kaya diharuskan kepemilikan BPJS Kesehatan ini," imbuh Dedy.
Ia mengatakan akar permasalahan dari bobolnya kontong BPJS bukan pada orang kaya yang ikut menjadi peserta, yang kemudian membebani APBN.
Dedy menyebut menkes memang berencana mendorong kerja sama dengan asuransi swasta swasta lewat koordinasi manfaat, hal ini sudah dicanangkan lama. Namun, hanya berjalan ditempat.
Menurutnya, banyak perusahaan asuransi swasta yang enggan untuk ikut serta dalam program ini atau bahkan yang sudah ikut serta satu persatu mengundurkan diri.
Hal ini lantaran tidak ada manfaat yang dirasakan oleh asuransi swasta dengan mengikuti program tersebut. Sebaliknya, pihak asuransi swasta hanya merasa direpotkan dan dirugikan.
"Karena itu perlu dicari solusi atas permasalahan ini sehingga asuransi swasta bisa mendukung program pemerintah di satu sisi tapi di sisi lain ada opportunity bisnis yang bisa dikembangkan di situ," ujar Dedy.
Terkait bagaimana mencegah terjadinya fraud dari orang kaya yang hanya ikut BPJS setelah mereka tahu butuh pengobatan yang menghabiskan biaya mahal, ia mengatakan pemerintah perlu membuat penyelidikan lebih dalam soal kasus-kasus yang memakan biaya rumah sakit lebih mahal.
Hal itu bisa dilakukan dengan menganalisis claim experience yang ada selama BPJS berdiri. Dari situ pemerintah bisa melakukan deteksi apakah ada potensial claim abuse di situ yang merugikan BPJS kesehatan selama ini. Dengan begitu, pemerintah bisa melakukan antisipasi.
Etis atau Tidak Etis
Sementara itu, Ekonom Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita menuturkan kepesertaan konglomerat dalam BPJS Kesehatan bukan soal benar atau salah, tapi soal etis atau tidak etis.
Ia mengklaim niat awal program JKN dan BPJS Kesehatan sebenarnya bukan untuk orang super kaya atau konglomerat.
Pasalnya, segmen kelas atas atau orang kaya diasumsikan mengasuransikan dirinya di perusahaan asuransi swasta dengan iuran bulanan atau tahunan yang sesuai dengan latar ekonomi mereka.
Sementara, segmen pasar utama JKN adalah masyarakat kelas menengah ke bawah yang selama ini tak memiliki asuransi kesehatan karena produk asuransi dari perusahaan swasta tidak "affordable" bagi mereka.
"Segmen masyarakat inilah yang menjadi alasan utama mengapa BPJS didirikan, bukan orang kaya atau superkaya," kata Ronny.
Lebih lanjut, ia menyebut memang tidak ada larang untuk kalangan atau segmen tertentu untuk ikut dalam program JKN, termasuk orang kaya dan super kaya.
Tapi jika ada nasabah yang dianggap mendapatkan lebih daripada hak yang semestinya mereka dapatkan, tentu menjadi kontraproduktif secara bisnis dan tidak etis secara moral.
"Artinya, jika ada segmen pasar JKN yang dianggap 'memanfaatkan' atau ikut 'menguras' dana BPJS Kesehatan, padahal segmen ini masuk kategori orang kaya dan konglomerat, tentu perlu dipertanyakan," sambung Ronny.
Di sisi lain, ia mengatakan produk BPJS Kesehatan belum sensitif terhadap potensi fraud atau kemungkinan dimanfaatkan oleh orang kaya, maka harus segera dibenahi dan dibuatkan skema yang lebih tepat.
Salah satunya seperti usulan menkes, yakni kolaborasi dengan asuransi swasta.
Selain itu, pemerintah juga bisa menyediakan produk baru yang sesuai dengan latar belakang ekonomi nasabah orang kaya dan super kaya tersebut. Hal ini dilakukan agar beban yang ditanggung BPJS Kesehatan setara dengan iuran yang dikeluarkan nasabah kelas atas.
[Gambas:Video CNN]