Didik Rachbini Kritik Keras Jokowi soal Utang

CNN Indonesia
Selasa, 13 Des 2022 15:50 WIB
Ekonom Senior Didik Rachbini mengkritik keras Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal lonjakan utang yang terjadi di bawah kepemimpinannya.
Ekonom Senior Didik Rachbini mengkritik keras Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal lonjakan utang yang terjadi di bawah kepemimpinannya. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama).
Jakarta, CNN Indonesia --

Ekonom Senior Didik Rachbini mengkritik keras Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal utang. Pasalnya, peningkatan utang negara di era pemerintahan mantan gubernur DKI Jakarta itu lebih besar dibandingkan periode presiden sebelumnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sambungnya, utang pemerintah pusat tercatat sebesar Rp2.608,78 triliun pada akhir 2014. Jokowi sendiri mulai menjabat pada Oktober 2024.

Per akhir September 2022, utang pemerintah tembus Rp7.420,47 triliun. Artinya, terjadi lonjakan utang sekitar Rp4.800 triliun selama delapan tahun pemerintahan Jokowi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, penambahan utang pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun (2004-2014) hanya Rp1.309 triliun.

"Jadi saya bisa bilang Jokowi raja utang. Naiknya tinggi sekali, terlalu banyak melakukan utang," kata Didik dalam Indef School of Political Economy (ISPE), Selasa (13/12).

Ia menyebutkan kenaikan utang Indonesia bahkan lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan, Jepang, dan Singapura. Hal ini lantaran bunga utang pemerintah yang juga lebih tinggi dibandingkan negara tersebut.

"Di Jepang misalnya, bunganya itu hanya 0,02 persen. Di kita 6-7 persen. Artinya kalau kita punya utang Rp7 ribu triliun dengan (bunga) 7 persen, itu kan bisa Rp400 triliun bayarnya tiap tahun. Sedangkan kalau bunga nya sekecil Jepang dengan nilai yang sama cuma Rp14 triliun (bunga per tahun)," jelasnya.

Karenanya, meski total utang di negara tersebut lima kali lebih tinggi, namun kenaikan per tahunnya tak setinggi Indonesia. Sehingga, meski penarikan utang baru dilakukan dengan nominal yang sama, jumlah penambahan utangnya tak sama.

Selain itu, Didik melihat kenaikan utang ini juga lantaran anggaran belanja pemerintah tidak fokus pada sektor prioritas. Harusnya saat pandemi fokus belanja untuk perlindungan sosial saja dan program lain ditunda dulu.

Namun, pemerintah justru memaksakan program kebijakan yang tidak urgent, contohnya pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Padahal, proyek itu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit dan memakan porsi APBN.

Tak ayal, penarikan utang menjadi lebih tinggi. Contohnya, pada 2020 pemerintah menambah utang baru hingga Rp1.600 triliun, atau di atas target APBN hanya Rp1.200 triliun.

"Jadi utang yang dibikin itu sama dengan 300 persen anggarannya pemerintahan SBY," ujarnya.

Menkeu Sri Mulyani sebelumnya menjelaskan kenaikan utang terjadi untuk membiayai penanganan pandemi covid-19 di tengah penerimaan negara yang jatuh, terutama dalam dua tahun terakhir, 

Ia juga menyebut tak ada yang lebih rendah dari rasio utang Indonesia di antara negara anggota G20.

"India, AS, Prancis, Inggris, bahkan Jerman, sudah di atas 60 persen (rasio utang). Bahkan, ada yang 100 persen. Nggak ada yang utangnya serendah kita," ujarnya dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2022 bertema Percepatan Pemulihan Ekonomi Indonesia 2022, Selasa (22/3) lalu.

Per Oktober 2022, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat 38,36 persen atau masih di bawah batas rasio tertinggi yang ditetapkan oleh undang-undang, 60 persen.

[Gambas:Video CNN]



(ldy/sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER