Batu bara memang masih jadi primadona bahan baku pembangkit tenaga listrik di Indonesia. Namun, Yusuf menilai pemerintah harus membuka mata untuk segera memanfaatkan sumber energi lain, yakni energi baru terbarukan (EBT).
"Peluang EBT ini relatif prospektif dan bisa diolah dari beberapa sumber, termasuk pembangkit listrik dari tenaga panas bumi, bioenergi, dan pembangkit listrik yang bersumber dari energi biofuel," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski prospektif, langkah pemerintah perlu ditopang konsistensi kebijakan. Secara khusus Yusuf menyoroti program biofuel yang dianggap sudah cukup baik. Ia percaya langkah ini bisa terus dilanjutkan dan didorong sebagai sumber daya untuk pembangkit tenaga listrik.
Salah satu tantangan pengembangan EBT adalah investasi awal yang relatif tidak murah, sehingga langkah pemberian insentif kepada investasi di sektor ini perlu dilanjutkan untuk memastikan proses transisi energi ke depan.
"Di luar itu saya pikir masyarakat juga bisa mulai diedukasi terkait bagaimana proses transisi energi dilakukan dan apa saja sumber alternatif yang tersedia," terangnya.
Yusuf memahami proses ini memakan waktu dan perlu dilakukan secara bertahap sehingga nanti masyarakat peduli terhadap akar masalah isu transisi energi.
Indonesia diharapkan secara bertahap bisa memaksimalkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) agar terlepas dari ketergantungan batu bara dan ancaman krisis listrik.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan pemerintah saat ini sudah menyiapkan berbagai macam aturan terkait dengan kewajiban DMO batu bara, termasuk denda bagi produsen 'nakal'.
Aturan tersebut secara rinci tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 267.K/MB.01/MEM.B/2022 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri.
Produsen nakal yang tak patuh dengan aturan DMO bisa dikenai beberapa sanksi, antara lain larangan ekspor, penghentian sementara seluruh kegiatan produksi, hingga pencabutan IUP/IUPK atau pengakhiran perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).
"Jadi sejauh pemerintah tegas terhadap peraturan yang dibuat, maka produsen tidak akan main-main. Selain itu, dengan adanya Sistem Informasi Pengelolaan Mineral dan Batu Bara (SIMBARA) yang terintegrasi saat ini, maka akan memudahkan pengawasan yang dilakukan oleh semua pihak," jelas Mamit.
Terkait dengan pasokan batu bara bagi pembangkit tenaga listrik Indonesia, Mamit mengatakan saat ini persediaan sudah cukup aman setidaknya sampai akhir tahun.
Selain itu, Mamit menekankan pembentukan badan layanan umum (BLU) batu bara yang sedang digodok pemerintah bisa lebih memastikan pasokan batu bara dalam negeri.
"Melalui BLU, kepastian pasokan batu bara kepada PLN tercapai dan produsen batu bara juga senang karena harganya nanti akan dibayar sesuai dengan harga pasar melalui mekanisme iuran untuk semua produsen batu bara yang beroperasi di Indonesia," katanya.
Lihat Juga : |
Kendati demikian, Mamit memahami transisi energi adalah keniscayaan. Ia melihat pemerintah terus berupaya agar roadmap alias peta jalan net zero emission (NZE) 2060 bisa terlaksana.
Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga meminta ketegasan pemerintah jika tidak ingin ancaman krisis listrik di awal tahun ini terulang kembali pada 2023.
Fabby meminta pemerintah memastikan ketentuan DMO dilaksanakan dan dipantau secara konsisten. Jika penambang tidak memenuhi ketentuan DMO, tidak boleh diberikan izin ekspor.
"Selain itu, PLN harus memastikan urusan logistik dan transportasi batu bara tidak terganggu," ujar Fabby.
Namun, ia melihat dilema jika pemerintah ingin mempercepat transisi energi. Ketergantungan terhadap batu bara harus dikurangi karena kebijakan DMO tidak selaras untuk mencapai target nol emisi karbon melalui pengembangan EBT.
Kebijakan DMO pada dasarnya mensubsidi batu bara sehingga harga listrik dari PLTU tidak sesuai dengan harga pasar.
"Ini menciptakan disinsentif bagi PLN dan IPP untuk berpindah ke EBT, dan dalam perencanaan pun, energi terbarukan tidak bisa bersaing secara wajar karena berkompetisi dengan harga listrik PLTU yang disubsidi," ungkapnya.
Pemerintah perlu merencanakan penghapusan harga DMO untuk pembangkit tenaga listrik jika ingin melakukan transisi energi.
Fabby mengusulkan pemerintah bisa menetapkan harga DMO tidak berlaku lagi pada 2025 agar perencanaan kelistrikan bisa menyesuaikan dan energi baru terbarukan bisa masuk lebih banyak.
Selain itu, ia menyarankan agar PLN bisa meningkatkan cofiring biomassa karena bahan baku biomassa lebih murah ketimbang batu bara yang tidak disubsidi.
Dengan peningkatan cofiring alias proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan campuran batu bara, emisi PLTU bisa dikurangi.