Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan kewenangan yang diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku penyidik tunggal pada kasus pidana keuangan tidak menyalahi kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).
Kewenangan baru tersebut termaktub dalam pasal 49 ayat 5 Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Dalam pasal tersebut disebutkan, selain sebagai regulator dan pengawas, OJK juga bertugas sebagai instansi tunggal yang melakukan penyidikan kasus pidana keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie OFP sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PPSK menegaskan bahwa penjelasan Pasal 49 (5) UU PPSK tersebut tidak menyalahi aturan.
"Penyidik tunggal dari mana ya? Baca dari ayat 1. Ayat 1 menyebutkan penyidik sesuai KUHAP, yang artinya tetap berpegang pada penegakan hukum yang terintegrasi di mana Polri berfungsi sebagai koordinator dan pengawas penyidik di bidang penyidikan," tegasnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (12/1).
OJK juga bisa menggunakan sumber daya dari kepolisian hingga pegawai negeri sipil dalam menjalankan kewenangan sebagai penyidik kasus pidana keuangan.
Pada pasal 49 ayat 1 disebutkan penyidik OJK terdiri atas pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu, dan pegawai tertentu yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP.
Lihat Juga : |
Penyidik yang berasal dari pegawai negeri sipil tertentu diangkat oleh menteri yang membidangi hukum dan hak asasi manusia. Sedangkan pegawai tertentu yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik ditetapkan setelah memenuhi kualifikasi oleh Polri.
Di lain sisi, Wakil Ketua Komisi XI Achmad Hatari dari Fraksi NasDem menjelaskan beberapa poin urgensi alias kegentingan yang mengharuskan pemerintah melalui DPR mengesahkan UU PPSK.
Hatari menegaskan kemunculan UU PPSK menekankan kepada pentingnya peran OJK di industri keuangan. Menurutnya, selama ini peran OJK tidak membanggakan dan perlu ada penguatan.
Ia menyinggung soal banyak kasus bermunculan, seperti asuransi Jiwasraya hingga asuransi swasta lain yang gagal bayar. Perkembangan terkait sistem keuangan juga perlu ditanggapi serius melalui UU PPSK ini.
"Jadi kami minta Komisi XI memberikan penekanan kepada OJK supaya perannya itu lebih ditingkatkan. OJK harus lebih memainkan perannya. Iya (agar tugas OJK lebih kuat). Sistem harus dibuat berlapis untuk mengontrol itu, pinjaman online (pinjol ilegal), dan sebagainya, seperti itu," jelasnya saat dikonfirmasi.
"Kalau dana itu ditempatkan oleh yang punya di luar negeri, siapa yang kontrol? Jadi pada prinsipnya dengan UU (PPSK) ini diharapkan kinerja OJK dalam mengawasi keuangan negara ini lebih baik lagi," sambung Hatari.
Sementara itu, dalam bahan hasil rapat panja RUU PPSK yang diberikan Hatari, setidaknya ada 5 poin penting permasalahan di sektor jasa keuangan Indonesia saat ini. Sektor jasa keuangan RI dianggap masih dangkal dan belum seimbang.
Permasalahan pertama, tingginya biaya transaksi di sektor keuangan. Kedua, terbatasnya instrumen keuangan. Ketiga, rendahnya kepercayaan dan perlindungan investor dan konsumen.
Keempat, rendahnya literasi keuangan dan ketimpangan ke akses jasa keuangan yang terjangkau. Kelima, kebutuhan penguatan kerangka koordinasi dan penanganan stabilitas sistem keuangan.
DPR menyoroti perlunya reformasi pengembangan dan penguatan sektor keuangan RI dengan 5 cara. Pertama, meningkatkan akses ke jasa keuangan. Kedua, memperluas sumber pembiayaan jangka panjang. Ketiga, meningkatkan daya saing dan efisiensi.
Keempat, mengembangkan instrumen dan memperkuat mitigasi risiko. Kelima, meningkatkan perlindungan investor dan konsumen.
Meski begitu, banyak ahli hukum yang menentang aturan di UU PPSK. Salah satunya Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar yang menyebut kewenangan OJK sebagai penyidik tunggal adalah penghamburan uang negara.
"Penambahan kewenangan (OJK selaku penyidik tunggal) ini berlebihan karena akan memerlukan anggaran negara, ini penghamburan uang negara yang tidak perlu," jelas Fickar.
Pengamat Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro juga menentang kewenangan OJK sebagai penyidik tunggal tindak pidana sektor keuangan. Menurutnya, hal ini jelas bermasalah dan ia meyakini akan ada implikasi sangat serius dalam praktiknya nanti.
Senada, Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menilai kewenangan baru di UU PPSK tersebut bagai pedang bermata dua. Label penyidik tunggal dianggap sarat tujuan tertentu yang ingin dicapai.
Di sisi lain, Agustinus menilai kewenangan tersebut bisa menimbulkan ekses negatif sebagaimana yang dikhawatirkan beberapa pihak. Kendati, kekhawatiran akan timbulnya penyalahgunaan wewenang bisa dieliminir melalui pengawasan.
"Penegakan hukum terkait jasa keuangan tentu memerlukan kehati-hatian dengan mempertimbangkan ekses yang dapat timbul, karenanya diperlukan pengetahuan dan kebijaksanaan yang tinggi," tuturnya.