Ia meminta pemerintah transparan soal program biodiesel yang sangat ambisius. Darto memberikan tiga catatan utama. Pertama, penjelasan kebutuhan lahan untuk memenuhi program biodiesel.
Ia beranggapan meningkatkan produktivitas sawit dari kebun yang ada cukup sulit. Pada akhirnya pemerintah akan bergantung pada perkebunan milik korporasi besar.
Kedua, klaim emisi penurunan karbon yang seharusnya juga memperhitungkan sisi hulu. Ketiga, ia meminta pemerintah membuka soal subsidi komponen biaya produksi biodiesel untuk menghindari semakin besar subsidi yang dinikmati korporasi dan terjadinya korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
SPKS menegaskan jangan sampai kepentingan besar pengusaha sawit merusak visi Indonesia Emas 2045, apalagi sampai pemerintah mau mengakomodir semua kepentingan pengusaha. Selain itu, Darto mempertanyakan bagaimana pembagian pasar antara BBM sawit dan kendaraan listrik dalam transisi energi.
"Transisi energi ke listrik kan Pak Luhut komit juga. Terus bagaimana itu nasibnya kalau kami produksi sawit untuk energi juga? Ini kan sama kayak tidak konsisten yah. Untuk transportasi berbasis listrik kan akan kuat ke depan, sementara dia bilang mau perkuat produksi sawit hingga 100 juta ton. Nanti pasarnya gimana?" tanya Darto.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan produksi sawit Indonesia mengalami stagnasi dalam 4 tahun terakhir. Namun, ekspansi baru sama sekali tidak ada karena terbentur regulasi.
Di lain sisi, upaya peningkatan produktivitas dengan beberapa upaya, termasuk replanting kebun rakyat tidak berjalan lancar. Dengan kenyataan tersebut, Joko menilai sulit meningkatkan produksi sawit RI.
"Pemanfaatan untuk kebutuhan domestik tentu bagus, namun kebutuhan bahan baku yang terus meningkat perlu dipikirkan masa depan produksinya yang trennya menurun. Jangan sampai Indonesia suatu saat nanti impor sawit untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri," ungkap Joko.
Sekjen Gapki Eddy Martono lantas membeberkan data proyeksi sawit Indonesia hingga 2045. Pertumbuhan produksi dan konsumsi sama-sama meningkat, tetapi kebutuhan konsumsi meningkat lebih cepat.
Pada 2045 Gapki memproyeksi Indonesia bisa memproduksi 78,3 juta ton minyak sawit dibandingkan dengan 2022 sebesar 50,3 juta ton. Sedangkan kebutuhan konsumsi minyak sawit di 2045 diperkirakan sebesar 45,9 juta ton, meningkat dari 19,5 juta ton pada 2022.
Proyeksi ini didasarkan pada asumsi produksi di mana tidak ada penambahan area perkebunan sawit, replanting perkebunan rakyat 150 ribu hektare per tahun, replanting perkebunan besar 20 persen tanaman tua, serta produktivitas TM 6,75 ton CPO per hektare dan tanaman tua 5 ton CPO per hektare setiap tahunnya.
Sedangkan asumsi konsumsi didasarkan pada kebutuhan pangan dan oleochemical sesuai tren serta pentahapan biodiesel, yakni B30 pada 2020 hingga 2024, B40 pada 2025 hingga 2044, dan B50 pada 2045.
"Mesti dilihat apakah produksinya cukup? Proyeksinya seperti di atas dengan asumsi seperti itu. Itu juga butuh effort yang cukup besar, utamanya peremajaan, perawatan, dan pemupukan sesuai dengan dosis yang dianjurkan," komentar Eddy soal ambisi Luhut.
Di lain sisi, Gapki memproyeksi ekspor minyak sawit dan produk turunannya bakal mengalami tren penurunan. Tahun sebelumnya ekspor sawit RI sebesar 30,8 juta ton dan diperkirakan meningkat pada 2023 menyentuh 35,4 juta ton. Namun, ekspor sawit RI diproyeksi bakal merosot ke 32,3 juta ton di 2045.