
Antisipasi Monopoli Iklan di Indonesia, KPPU Akan Awasi Google

Komisi pengawas persaingan usaha (KPPU) akan meneliti soal dugaan monopoli iklan oleh Google di Amerika Serikat (AS). Lembaga tersebut ingin melihat apakah hal serupa juga terjadi di Indonesia atau tidak.
Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala mengatakan bahwa berdasarkan data penelitian 2020, Google Advertising belum menjadi pelaku usaha dominan dalam industri iklan digital di Indonesia.
"Namun, mengingat cepatnya perubahan di digital economy, kami akan melakukan penelitian kembali mengenai industri digital advertising dan apakah perilaku Google di USA dan UE juga terjadi di Indonesia," katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (26/1).
Kendati, Mulyawan belum bisa berkomentar banyak soal dugaan praktik monopoli iklan digital oleh Google tersebut. Ia mengaku masih harus mempelajari lebih jauh bagaimana duduk perkara yang terjadi di AS.
Tudingan monopoli iklan menyasar Google baru-baru ini. Kementerian Kehakiman AS dan pemerintah delapan negara bagian lainnya menggugat Google ke pengadilan di Alexandria, Virginia pada Rabu (25/1).
"Karena kasusnya baru saja diumumkan, kami belum sempat mempelajari bagaimana otoritas persaingan AS dapat menyimpulkan telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang persaingan usaha di AS," jelas Mulyawan.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur lantas menjelaskan bahwa tindakan monopoli berdasarkan undang-undang belum dianggap melanggar. Namun, bagaimana pihak terkait menyalahgunakan kemampuan monopolinya baru dapat dikategorikan melanggar.
Deswin menyebut persoalan iklan digital Google memang sering menjadi perhatian otoritas terkait. Ia mencontohkan di mana Google mengutamakan atau mengarahkan search engine ke iklan yang terafiliasi dengan mereka. Hal tersebut, menurut Deswin, merugikan perusahaan iklan lain.
"Itu yang tidak diperkenankan. Jika perusahaan iklan di Indonesia ikut menggugat atau melapor ke KPPU atas tindakan Google itu, tentunya bisa didalami dan dapat dilakukan penegakan hukum atasnya," tegas Deswin.
Lihat Juga : |
Sementara itu, Jaksa Agung AS Merrick Garland mengatakan bahwa Google selama 15 tahun "menerapkan kebijakan anti-kompetisi" yang meredam kebangkitan teknologi rival.
Garland menuding Google turut memanipulasi mekanisme lelang iklan guna memaksa pengiklan dan penerbit menggunakan perangkat mereka.
Dengan begitu, Google 'melakukan praktik eksklusif' yang sangat melemahkan, bahkan mungkin menghancurkan kompetisi di industri teknologi iklan.
Selain itu, Garland menuduh Google mengendalikan teknologi yang digunakan kebanyakan penerbit situs besar untuk menawarkan diskon tempat iklan. Akibatnya, 'kreator situs mendapatkan lebih sedikit dan pengiklan membayar lebih tinggi'.
Melalui gugatan itu, Kementerian Kehakiman AS mendesak Google melepaskan diri dari bisnis mengendalikan perangkat teknis yang mengatur pembelian, penjualan, dan lelang iklan digital.
Mereka juga menuntut Google agar fokus saja pada bisnis inti, yaitu mesin pencari serta produk-produk mereka, termasuk YouTube dan Gmail.
Di lain sisi, Google membantah tudingan tersebut. Mereka menyebut tuntutan tersebut didasarkan kepada "argumen yang lemah".
Wakil Presiden Global Ads Google Dan Taylor mengatakan Departemen Kehakiman AS justru akan menghancurkan industri periklanan digital dengan tuntutan tersebut.
"Tuntutan hari ini dari Departemen Kehakiman merupakan usaha untuk memilih yang mana yang jadi pemenang dan pecundang dalam sektor periklanan yang sangat kompetitif," tulisnya dalam blog resmi Google.
Menurut Dan, Google telah merespons komplain dan klaim serupa, yang sebelumnya dibuat oleh Jaksa Agung di Texas. Tuntutan serupa memang telah diajukan oleh Jaksa Agung di Texas pada 2020, namun mental di pengadilan federal.
Dan juga membantah Google memonopoli industri iklan digital dan menyingkirkan para kompetitor. Sebaliknya, Dan menyebut teknologi yang dibangun Google didesain untuk bekerja dengan produk dari kompetitor.
"Tidak ada yang dipaksa untuk menggunakan teknologi kami. Mereka menggunakannya karena efektivitas teknologi itu. Faktanya, para penerbit dan pengikat bekerja dengan beragam teknologi secara terus menerus untuk mencapai konsumen dan menghasilkan lebih banyak uang," bantah Dan.