Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah perlu memeriksa data produksi dan ekspor CPO pada bulan ini, di mana estimasi produksi CPO per bulan di kisaran 4,5 juta ton hingga 4,6 juta ton.
Sementara kebutuhan untuk program B35 sekitar 1,2 juta kiloliter per bulan dan untuk kebutuhan minyak goreng dalam negeri dan untuk oleokimia sekitar 1,3 juta ton hingga 1,4 juta ton per bulan.
"Jadi dari sisi neraca harusnya pasokan masih cukup banyak. Saya duga volume produsen CPO lebih senang ekspor karena harga CPO di Januari ini lebih tinggi dari Desember. Akibatnya pasokan CPO untuk minyak goreng bisa saja sedikit berkurang," ujar Fabby.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan data yang dikeluarkan oleh gabungan pengusaha Kelapa Sawit Indonesia menunjukkan pangsa CPO yang diproduksi untuk biofuel meningkat sejak 2019.
Di saat yang bersamaan, peningkatan itu diiringi dengan turunnya alokasi atau pangsa CPO yang diproses untuk produksi komoditas pangan, salah satunya minyak goreng.
"Oleh karena itu dijalankan program B35 memang berpotensi mengurangi pasokan CPO yang diperuntukkan untuk produksi minyak goreng dan pada level tertentu ini juga berpotensi meningkatkan harga minyak goreng itu sendiri," ujarnya.
Kendati demikian, Yusuf menilai program B35 bukan lah faktor tunggal yang menyebabkan harga Minyakita melonjak. Ia mengatakan faktor lainnya adalah masalah distribusi. Hal itu mirip dengan yang terjadi saat harga minyak goreng naik pada tahun lalu.
Saat itu, terdapat sejumlah oknum yang melakukan penimbunan dan akhirnya ke alur distribusi barang dari minyak goreng tersebut terhambat dan mendorong kenaikan harga.
"Saya kira faktor ini yang juga perlu dimasukkan sebagai bahan evaluasi stakeholder terkait dalam beberapa bulan ke depan karena kita tahu bersama dalam kedua bulan ke depan masyarakat Indonesia yang muslim sudah memasuki bulan Ramadhan dan permintaan terhadap minyak goreng itu umumnya mengalami peningkatan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan CPO untuk pangan atau bahan baku minyak goreng sedang menghadapi tiga masalah yang kompleks.
Pertama, fluktuasi harga CPO di pasar ekspor di mana masih berlanjutnya krisis energi global dan pembukaan ekonomi China mengakibatkan industri menggenjot ekspor.
Kedua, CPO untuk program biodiesel terus naik porsinya dan harga pembelian biodiesel dipandang lebih menarik dibanding menjual ke pabrik minyak goreng. Apalagi program B35 cukup ambisius, sehingga Bhima menyarankan harus dihitung cermat oleh pemerintah akan menyedot berapa banyak CPO.
Ketiga, kenaikan permintaan minyak goreng menjelang momentum Ramadhan-Lebaran.
"Jadi ada tarik menarik yang belum selesai, dan khawatir yang dikalahkan adalah CPO untuk kebutuhan pangan. Jangan mengulang kesalahan kebijakan di 2022 lalu karena fatal bisa sebabkan kelangkaan bukan hanya kenaikan harga eceran minyak goreng," ujarnya.