Sementara itu untuk menipisnya stok CBP dari produksi domestik, ia menilai itu semua terjadi karena Bulog tidak menyerapnya secara efektif. Padahal produksi padi tahun lalu melampaui target yakni 106,61 persen atau 55,44 juta ton dari target 54,56 juta ton.
"Kita lihat tahun kemarin Bulog baru masif menyerap dan dan mencari hasil di akhir tahun, padahal panen raya sudah sejak kuartal-I 2022 dan bahkan pada Maret-Mei kemarin petani kesulitan untuk menjual hasil panennya," ujarnya.
Andri menjelaskan sebenarnya produksi beras pada tahun lalu banyak. Tapi petani lebih memilih menjual ke bandar atau spekulan karena Bulog tidak menyerap dengan aktif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, harga beras yang dijual petani ke bandar berada di luar kendali pemerintah. Jadi stok yang biasanya dibeli Bulog untuk menstabilkan harga sudah di tangan swasta.
Dengan kondisi itu, harga dan pasokan di luar kendali pemerintah. Di sisi lain, pedagang pun tidak mau rugi untuk menjual stok ini dengan harga murah karena belinya dulu di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Di lain sisi, Andri menjelaskan beras impor yang mau dijual bulog dengan HET RP9.540 memiliki kualitas lebih bagus dari beras medium dan bahkan premium domestik yang harganya sekarang sudah sekitar Rp10.800-R11.500 (area Jawa) untuk medium dan Rp12.400-Rp13.000 (area Jawa) untuk premium.
Beras impor ini harga belinya bagi pedagang lebih murah dari beras premium domestik, tapi dari segi kualitas lebih baik dari beras medium.
"Jadinya banyak pedagang yang mengoplos beras impor bulog ini ke beras premium karena untungnya lebih tinggi, dan kalau dijual sesuai HET sekalipun akan cepat habis diborong dan harganya kembali ke luar kendali pemerintah," ujarnya.
Sementara terkait perbedaan data beras, Andri menilai salah satu penyebabnya karena penyerapan Bulog yang terlambat. Misalnya saat Bulog sempat ditanya oleh DPR karena hanya mendapatkan 20 ribu beras, padahal data Kementan menunjukkan harusnya ada 100 ribu ton.
Andri menilai hal ini terjadi karena beras terlambat diserap oleh Bulog dan sudah dijual petani ke bandar.
Andri mengatakan memang ada ada faktor-faktor lain seperti kemungkinan perhitungan BPS yang overestimate, dan kenaikan harga produksi seperti pupuk yang membuat petani membatasi produksi.
Namun, stok CBP yang diserap Bulog tahun lalu dinilai terlalu rendah jika dibandingkan dengan total produksi padi tahun lalu yang tidak mengalami kendala dari segi iklim dan cuaca.
"Rendahnya stok CBP ini juga akhirnya membuat celah bagi spekulan untuk mempengaruhi pasar," tandasnya.
Selain itu, nilai HPP yang ditentukan pemerintah juga menjadi batasan bagi Bulog untuk dapat menyerap hasil tani setelah kenaikan harga produksi. HPP yang terbatas ini membuat petani lebih memilih untuk menjual hasil taninya ke bandar dan bahkan spekulan.
"Apabila pemerintah tidak melakukan penyesuaian HPP, maka akan sulit bagi Bulog untuk menyerap beras apalagi dengan target 2,4 juta ton di tahun ini," ujar Andri.