Komisi XI DPR RI mempertanyakan mengapa cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) belum kunjung direalisasikan. DPR curiga ada lobi-lobi perusahaan dengan Kementerian Keuangan supaya rencana pengenaan cukai itu terganjal.
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mempertanyakan kelanjutan progres cukai minuman berpemanis kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan dalam rapat dengar pendapat (RDP).
"Kami 2018 memberikan persetujuan, kalau kita ngomong, kelompok lobi siapa sih dari minuman berpemanis dan kemudian produsen kemasan plastik ini yang melakukan lobi ke pemerintah sehingga menunda pelaksanaan ini?" tanya Misbakhun dalam RDP di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (14/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau bicara potensial lost negara ini harusnya KPK masuk, BPK masuk, Kejaksaan Agung masuk menangkap orang-orang yang melakukan lobi ini. Hengki pengki apa yang ada? Kita harus marah. Kalau saya sih marah. Tidak pantas kita menunda-nunda yang seperti ini. Utang kita makin bertambah," sambungnya.
Bahkan, Misbakhun membuat sebuah analogi di mana pemerintah dianggap lebih memilih makan nasi di warung dengan utang ketimbang menyantap nasi kotak yang sudah disediakan di depan mata. Dengan nada tinggi, ia memberikan gesture mencontohkan analogi itu dengan menggunakan snack box di depannya.
Misbakhun menegaskan potensi penerimaan negara sudah terlihat di depan mata. Namun, eksekusi tak kunjung terlaksana oleh Kementerian Keuangan.
"Ini ada box makan di depan saya. Saya tidak pilih makan ini. Saya pilih punya Pak Agung Rai. Saya ambil, tapi saya utang. Ini cara mengelola negara model apa? Walaupun saya tahu kebijakan itu bukan di Bapak (Dirjen Bea Cukai Askolani)," jelasnya dengan nada tinggi.
Senada, Andreas Eddy Susetyo dari Fraksi PDIP mempertanyakan kelanjutan cukai minuman berpemanis. Menurutnya, Kementerian Kesehatan bahkan setuju pengendalian minuman berpemanis penting dilakukan untuk mengarungi diabetes.
"Kami memahami skemanya itu kompleks, justru itulah desain dari skema ini tolong nanti disampaikan kepada kami karena ini hal yang sangat penting di dalam hal menuju arah ekstensifikasi cukai," tutur Andreas.
Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani membantah tudingan Misbakhun soal ada lobi-lobi perusahaan di balik molornya implementasi cukai minuman berpemanis.
"Tidak, tidak ada. Itu mungkin dari pandangan Pak Misbakhun, tapi kalau dari kami tidak ada (lobi perusahaan). Kami open saja, pemerintah kan melihat secara komplit, masukan industri juga didengarkan, masukan dari kementerian dan lembaga juga didengarkan, komisi masyarakat juga diperhatikan," katanya.
Ia mengatakan bahwa ekstensifikasi cukai adalah langkah yang sedang dikembangkan. Ia menegaskan saat ini dilakukan kajian dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) agar kebijakan itu nantinya efektif.
Askolani juga menyinggung bahwa kondisi yang dihadapi di lapangan belum bisa diselesaikan. Di lain sisi, pihaknya sedang meng-adjust turunan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Di UU HPP, mengenai ekstensifikasi cukai diamanahkan untuk dibahas dari awal dalam pembahasan RAPBN setiap tahun. Walaupun kami masih agak abu-abu bagaimana detail implementasinya. Kami sangat menghormati masukan pimpinan Komisi XI soal implementasi cukai, baik intensifikasi maupun ekstensifikasi," jawab Askolani.
Selain itu, Askolani menyebut bahwa kondisi di lapangan masih menjadi pertimbangan. Ia mengatakan ada kekhawatiran soal kondisi ekonomi 2022, termasuk sejauh mana kondisi aktualnya.
"Kekhawatiran kami dari awal bahwa 2022 tidak sebaik 2021 tantangannya dari sisi global, terbukti memang komoditas turun, kemudian ada perang, itu punya imbas ke domestik. Sehingga menjadi pertimbangan kenapa belum bisa sepenuhnya dilaksanakan," sambungnya.
Selepas RDP, Askolani mengungkapkan bahwa cukai minuman berpemanis kemungkinan baru akan diterapkan pada awal 2024. Ini terkait Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEMPPKF) yang sudah mulai dibahas dengan DPR Mei tahun ini.
Ia lantas mengatakan pihaknya masih mempertimbangkan dua hal. Pertama, kondisi lebih detail industri tenaga kerja.
Kedua, penyesuaian dengan turunan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengenai mekanisme untuk pengusulan ekstensifikasi cukai.
"Kemungkinan besar, kemungkinan ya, kami lihat sampai semester II (2023). Kami lihat dulu, lihat evaluasinya dulu. Kalau pun belum, tentunya mungkin kami bisa siapkan awal di 2024," ungkap Askolani soal kapan waktu penerapan cukai minuman berpemanis.