Senada, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan Minyakita langka dan mahal di pasaran karena produsen mengurangi produksinya. Hal itu mereka lakukan karena insentif bagi produsen tidak cukup untuk memproduksi Minyakita di tengah ekspor CPO yang sedang lesu.
Sebagai informasi, pemerintah memang memberikan kompensasi berupa hak ekspor CPO kepada produsen Minyakita untuk menambal kerugian dari produksi minyak goreng murah yang harga eceran tertingginya dipatok Rp14 ribu tersebut.
Tapi katanya, ketika harga CPO internasional jatuh karena bayang resesi global, produsen dihadapkan pada pilihan sulit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika kini ekspor CPO lesu di mana harga CPO internasional sedang jatuh seiring resesi global, ditambah ekspor CPO dikenakan bea keluar dan pungutan ekspor, maka memproduksi MinyaKita kini menjadi tidak menarik karena kerugian memproduksi Minyakita tidak mencukupi lagi dikompensasi oleh keuntungan dari ekspor CPO," kata Yusuf.
Yusuf menilai respons pemerintah atas kelangkaan Minyakita dengan meningkatkan kewajiban DMO dan sanksi pembekuan (deposito) hak ekspor atas ketidakpatuhan terhadap kebijakan itu merupakan langkah yang tidak tepat.
Bahkan tambahnya, kebijakan itu justru berisiko menambah masalah. Pasalnya, pembekuan hak ekspor CPO ia nilai justru berpotensi merugikan petani kebun sawit skala kecil jika kinerja ekspor CPO semakin lemah.
Pasalnya, melemahnya ekspor CPO akan langsung menekan harga TBS (Tandan Buah Segar) di tingkat petani sawit.
Ekspor yang melemah juga akan membuat insentif pengusaha memproduksi Minyak Kita semakin rendah. Begitu juga, penerimaan negara dari bea keluar dan pungutan ekspor CPO juga semakin rendah.
"Di tengah permintaan global yang melemah terhadap CPO, deposito hak ekspor CPO adalah kontraproduktif dan berpotensi merusak kepercayaan pasar internasional, serta berpotensi membuat konsumen beralih ke pesaing karena tidak yakin dengan kepastian pasokan CPO Indonesia ke depan," katanya.
Yusuf mengatakan titik kritis kebijakan DMO adalah kesiapan teknis pemerintah untuk menampung pasokan dari dari aturan itu, efektivitas pengawasan terhadap kepatuhan pelaksanaannya dan potensi penyelundupan, serta tingkat harga pembeliannya.
Sepanjang terdapat kesenjangan yang besar antara DPO dan harga keekonomian Minyakita serta pengawasan yang lemah terhadap produksi dan distribusi oleh produsen swasta, maka sulit mengharapkan kebijakan DMO yang dikaitkan dengan hak ekspor CPO akan efektif menambah pasokan dan menurunkan harga Minyakita.
Yusuf menyarankan pemerintah berfokus untuk menjaga ekspor CPO agar tetap kondusif dan mengoptimalkan pendapatan dari ekspor CPO yaitu dari bea keluar dan pungutan ekspor. Pendapatan dari ekspor CPO tersebut yang kemudian digunakan untuk mensubsidi minyak goreng untuk rakyat, terutama Minyakita.
Ia mengatakan dana pungutan ekspor yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) selama ini justru dialokasikan lebih dari 80 persen untuk subsidi biodiesel.
"Seharusnya pendapatan dari ekspor CPO digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yaitu subsidi minyak goreng sawit domestik terutama untuk masyarakat miskin," kata Yusuf.
Di lain sisi, Yusuf mengatakan langkah yang bisa dilakukan untuk menurunkan harga Minyakita adalah intervensi rantai pasok dan jalur distribusi minyak goreng domestik. Hal itu katanya, akan efektif kalau pemerintah menugaskan Bulog untuk melakukan pengadaan minyak goreng secara langsung ke pabrik-pabrik minyak goreng dan menyalurkannya langsung ke seluruh tanah air.
Namun, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan dana pungutan ekspor di BPDPKS tersalur dengan cepat ke Bulog. Pendapatan pungutan ekspor CPO harus dipastikan diprioritaskan untuk subsidi minyak goreng oleh Bulog, bukan untuk subsidi biodiesel.
"Bulog harus didukung dengan pembiayaan yang memadai, untuk membeli minyak goreng, terutama Minyakita, dari pabrik dengan harga pasar dan menyalurkan ke masyarakat dengan harga subsidi," kata Yusuf.