Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap alasan 8,4 juta pengangguran di Indonesia per Agustus 2022, meski realisasi investasi pada 2022 mencapai Rp1.207 triliun atau melampaui target Rp1.200 triliun.
Rendahnya penyerapan tenaga kerja disebabkan investasi saat ini lebih banyak padat modal (capital intensive).
Artinya, perusahaan membutuhkan biaya modal lebih tinggi ketimbang kebutuhan biaya untuk tenaga kerja. Modal yang dimaksud pun merujuk pada mesin penyokong produksi seperti mesin, perlengkapan, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita tahu jumlah tenaga kerja per investasi sekarang relatif lebih rendah karena banyak lari ke capital intensive, oleh karena itu yang didorong pemerintah adalah UMKM dan entrepreneurship," kata Airlangga di Jakarta Pusat, Selasa (21/2).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengangguran Indonesia tembus 5,86 persen atau 8,42 juta orang pada Agustus 2022.
Untuk daerah dengan pengangguran terbanyak di Indonesia, BPS melaporkan urutan satu ada Jawa Barat (8,31 persen), Kepulauan Riau (8,23 persen), Banten (8,09 persen), DKI Jakarta (7,18 persen), dan Maluku (6,88 persen).
Kemudian, Sulawesi Utara (6,61 persen), Sumatra Barat (6,28 persen), Aceh (6,17 persen), Sumatra Utara (6,16 persen), dan Kalimantan Timur (5,71 persen).
Jika dilihat berdasarkan kelompok umur, penduduk berusia 15-24 tahun tercatat dalam kategori Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 20,63 persen pada 2022.
Jumlah itu lebih banyak dibandingkan penduduk usia 25-29 tahun (3,36 persen) dan 60 tahun ke atas (2,85 persen). Jumlah ini naik dari Februari 2022 sebesar 5,83 persen atau 8,40 juta orang.
Kendati, angka pengangguran tersebut sebetulnya lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Tercatat pada 2021, angka pengangguran tembus 6,26 persen atau 8,7 juta orang pada Februari dan 7,07 persen atau 9,7 juta orang pada Agustus.
Kemudian pada 2020, 4,94 persen atau 6,9 juta orang pada Februari dan 7,07 persen atau 9,7 juta orang pada Agustus.
Peneliti senior INDEF Nailul Huda menyangkal pernyataan Airlangga. Menurutnya, selama investasi itu memiliki multiplier effect atau dampak berlapis ke sektor lain tidak ada yang salah dengan investasi ke capital intensive.
"Masalahnya ini kan investasi yang masuk nggak mampu ngungkit (menaikkan) tenaga kerja. Bahkan ada beberapa investasi yang malah menambah TKA. Ini yang harus dibenahi," katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (22/2).
Untuk itu, menurutnya penting mengarahkan investasi masuk ke sektor dengan multiplier effect yang cukup signifikan.
Senada, peneliti Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menjelaskan para investor lebih tertarik meletakkan investasinya ke industri padat modal sebab perputaran yang cepat. Termasuk berkaitan dengan pengembangan teknologi informasi dan jasa keuangan.
"Kalau dilihat ke belakang booming digital dalam 5 tahun terakhir itu menarik investasi padat modal. Mungkin ketika sektor digital mulai winter akan terjadi penurunan porsi investasi di sektor jasa," paparnya.