Senada, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang mengatakan harga impor KRL bekas dari Jepang lebih murah ketimbang harus membeli kereta baru buatan INKA. Menurutnya, harga impor dari Jepang adalah Rp800 juta per unit, sedangkan kereta buatan INKA tembus Rp18 miliar per unit.
Jika PT KCI harus mengganti seluruh kereta lama dengan kereta baru buatan INKA, maka tarif KRL berpotensi bengkak. Pada akhirnya, Kemenhub bakal kelimpungan memberikan subsidi public service obligation (PSO).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau Kemenperin kan jelas, mereka ngotot TKDN, TKDN, TKDN. Mereka tidak tahu masalahnya. Mereka ngotot TKDN, tapi enggak tahu masalahnya berat. Jadi menurut saya Kemenperin itu hanya kacamata kuda, tidak mempelajari permasalahan makro atau holistiknya tidak dilihat. Enak saja kalau beli-beli baru, mau enggak tarifnya naik? Jelas enggak mau," kritik Deddy.
Sementara itu, Deddy merinci umur KRL Jepang ada di kisaran 45-50 tahun. Sementara itu, pemakaian di Negeri Sakura berada di kisaran 25 hingga 30 tahun. Dengan begitu, ketika Indonesia mengimpor KRL bekas dari Jepang, usia operasinya masih berada di kisaran 20-25 tahun.
Ia juga sepaham dengan Darmaningtyas di mana impor KRL dari Jepang harus melalui proses rekondisi. Dengan begitu, tidak semua bagian KRL utuh seperti yang beroperasi di Jepang.
"Kalau (umur KRL Jepang) 45 tahun, paling tidak masih ada sekitar 20 tahun lagi bisa digunakan di Indonesia. Dengan harga Rp800 juta kan murah, kualitas bagus, keselamatan lebih terjamin. Kalau mau beli produk harus compare lah bagaimana produk kita, bagaimana dari Jepang. Kereta sekarang ini yang jalan di Indonesia di Jabodetabek kan 100 persen semua dari Jepang, tidak ada masalah kan, semua bagus-bagus saja," jelasnya.
Tak jauh beda, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menyoroti harga kereta buatan INKA yang dinilai 20 kali lipat lebih mahal dari impor KRL bekas Jepang. Menurutnya, gap harga tersebut terlalu jauh. Namun, harga bukan satu-satunya pertimbangan.
"Harga bukan satu-satunya indikator, tapi melihat bagaimana manfaat secara ekonomi, termasuk multiplier effect yang ditimbulkan kalau pengadaannya berasal dari produsen dalam negeri, dalam konteks ini INKA. Kalau dari dalam negeri berarti ada domestic multiplier effect yang itu tidak terjadi kalau kita impor," ucapnya.
Meski begitu, Faisal menekankan perlu dicari sebab kenapa perbedaan harga yang begitu jauh antara impor KRL bekas dari Jepang dengan beli baru buatan INKA. Ia mempertanyakan apakah hal tersebut disebabkan karena ongkos produksi yang lebih mahal, gap teknologi yang cukup jauh, atau ada masalah-masalah inefisiensi manajemen.
"Ini yang harus dicek lebih jauh karena kalau gap-nya terlalu jauh disebabkan governance, rent seeking, dan lain-lain, ini malah justru menjadi backfire terhadap keuangan, BUMN, dalam konteks ini KCI dan KAI. Apalagi kalau tadi kekhawatirannya harga yang lebih mahal ditransmisikan kepada tarif pelayanan yang lebih mahal kepada penumpang," tandasnya.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menganggap sikap ngotot Kemenperin menolak impor berkaitan dengan kepentingan industri domestik. Jika membeli dari INKA, akan ada penyerapan tenaga kerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain itu, Trubus menduga Kemenperin lebih bisa mengontrol kualitas gerbong milik INKA, berbeda dengan impor yang sifatnya barang jadi. Sehingga, jika melihat kepentingan domestik, upaya Kemenperin tidak sepenuhnya salah.
Namun, ia menilai masyarakat mulai banyak beralih ke transportasi umum seiring kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Jika pemerintah lebih memihak sikap Kemenperin yang menolak impor KRL, layanan transportasi publik bisa terganggu.
"Iya (penumpang terlantar), itu masalahnya. Ini kan konteksnya pelayanan publik, maka seharusnya yang ditempuh impor itu. Cuma kepentingannya adalah untuk pertumbuhan ekonomi yang dikerjakan INKA itu. Tinggal pilihan pemerintah. Menurut saya, agar bagaimana publik ini bisa terlayani, mau gak mau harus melakukan impor," saran Trubus.
Untuk jangka pendek, Trubus menyarankan Kemenperin mengalah. Di lain sisi, perlu dilakukan perbaikan tata kelola INKA agar produksi kereta dalam negeri bisa lebih cepat sehingga Indonesia tidak ketergantungan impor di masa mendatang.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai polemik impor gerbong KRL menambah rentetan miskoordinasi antara kementerian dan lembaga pemerintah.
Ia tak mempermasalahkan pernyataan Kemenperin yang mendorong gerakan bangga buatan Indonesia dengan menolak impor KRL dari Jepang. Namun, perlu dihitung berapa lama waktu produksi kereta dalam negeri.
Ia mempertanyakan mengapa terjadi miskoordinasi di mana usia pensiun gerbong KRL tidak diperhitungkan dan disesuaikan dengan masa produksi kereta baru INKA. Yusuf menyebut hal-hal detail industrialisasi ini perlu didiskusikan oleh kementerian-kementerian terkait.
"Yang pasti akhirnya masyarakat atau dalam hal ini penumpang KRL harus menanggung ongkos dari miskoordinasi antara kementerian dan lembaga di pemerintah," tutup Yusuf.