Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai upaya pemerintah mengimpor beras itu menjadi kontradiktif dengan gembar-gembor Indonesia negara agraris.
Sebab, karena untuk kebutuhan dalam negeri saja beras harus impor.
"Ini jadi ancaman serius ketahanan pangan kedepannya padahal dari pandemi kita belajar sektor pertanian cukup tahan krisis. Harusnya dipertahankan dan didorong sektor pertanian yang lebih mandiri," kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, impor beras itu juga perlu diwaspadai karena momen impor beras selalu tinggi jelang pemilu. Berdasarkan catatannya, pada 2019 Indonesia impor beras 2,25 juta ton. Ada celah rent seeker atau pemburu rente dari kebijakan impor beras.
Lihat Juga : |
"Kenapa selalu impor beras bengkak setiap jelang pemilu? Ini bukan persoalan menjaga inflasi tapi ada kepentingan rente," imbuh Bhima.
Ia juga menilai impor beras itu kebijakan paling gampang, tidak perlu tanam susah susah tinggal pegang izin impor. Selain itu, impor beras cuma membuat makmur petani di Vietnam dan Thailand.
Bhima juga mengatakan alibi impor beras untuk stabilisasi harga perlu dipertanyakan. Toh, pada saat kuota impor beras menembus 500 ribu ton hingga Februari 2023 harga beras justru naik.
Jadi diragukan impor beras yang jumlahnya besar dengan stabilitas harga. Menurutnya, yang terjadi justru petani dirugikan, makin malas masyarakat punya profesi petani tanaman pangan karena kebijakan merugikan mereka.
"Begitu panen raya kemudian impor ya makin sedikit yang jadi petani. Ini akhirnya luasan lahan pertanian makin menyempit tiap tahunnya," ujarnya.
Karenanya, Bhima berpendapat sebaiknya pemerintah membatalkan rencana impor beras 2 juta ton. Pemerintah lebih baik memperbaiki data beras sehingga kebijakan impor lebih sesuai kebutuhan dan waktunya tidak berdekatan dengan panen raya.
Jika diingat lagi, Indonesia menerima penghargaan ketahanan pangan beras dari International Rice Research Institute (IRRI) pada Agustus 2022 lalu.
Pemerintah RI menerima penghargaan dari IRRI karena dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021.
Penghargaan ini bertajuk "Acknowledgment for Achieving Agri-food System Resiliency and Rice Self Sufficiency during 2019-2021 through the Application of Rice Innovation Technology" atau "Penghargaan Sistem Pertanian-Pangan Tangguh dan Swasembada Beras Tahun 2019-2021 melalui Penggunaan Teknologi Inovasi Padi".
Terkait penugasan impor 2 juta ton beras kepada Bulog, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengklaim RI masih bisa disebut swasembada.
Ia mengatakan Kementan juga harus diapresiasi. Dari 30 juta kebutuhan beras Indonesia tahun kemarin itu hanya mengadakan impor khusus 500 ribu ton.
Merujuk pada definisi Food and Agriculture Organization (FAO), swasembada adalah apabila produksi dapat memenuhi 90 persen dari kebutuhan nasional.
"Kalau kebutuhan 30 juta, 10 persennya berapa? Kalau mengimpor 500 ribu ton masih swasembada nggak? Masih," tegasnya.