Seluruh masyarakat Indonesia memperingati hari lahir Pancasila pada 1 Juni ini.
Peringatan ini merujuk pada pelaksanaan sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang membahas dasar-dasar Indonesia merdeka pada 29 Mei 1945-1 Juni 1945 lalu.
Saat sidang kedua BPUPKI, Soekarno dalam pidatonya yang bertajuk lahirnya Pancasila menyampaikan gagasan mengenai lima dasar negara bernama Pancasila. Dasar itu adalah; Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah proses itu, 22 Juni 1945, Pancasila dirumuskan ke dalam Piagam Jakarta. Kemudian, sehari setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan atau 18 Agustus 1945, Pancasila disahkan sebagai dasar negara.
Setelah itu, Pancasila selalu digunakan sebagai dasar oleh negara untuk mengatur pemerintahan dan penyelenggaraan negara.
Namun, setelah 78 tahun pengesahan itu, masihkah nilai-nilai Pancasila menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia?
Untuk bidang ekonomi, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan tidak demikian. Ia mengatakan beberapa indikator menunjukkan ekonomi Indonesia semakin jauh dari Pancasila.
Hal itu katanya paling terlihat dari pelaksanaan pengamalan Pancasila sila ke-5 "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Indikator pertama katanya bisa dilihat dari ketimpangan ekonomi.
Ia mengatakan walaupun selama ini ekonomi Indonesia selalu diklaim pemerintah tumbuh bagus dan kuat di tengah kondisi ekonomi negara lain yang lesu, tapi nyatanya 'kue' itu tidak dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara merata.
Hal itu katanya, terlihat dari ketimpangan kehidupan ekonomi di Indonesia. Bhima mengatakan walaupun Pancasila sudah mengatur prinsip 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' sampai dengan saat ini ketimpangan ekonomi di Indonesia masih cukup tinggi.
Contoh nyata dari tingginya ketimpangan bisa diperhatikan dari jumlah orang kaya di Indonesia dengan nilai tabungan di atas Rp2 miliar saat pandemi kemarin.
"Hasil riset Credit Suisse menunjukkan pada 2020 orang kaya di Indonesia naik 65 ribu menjadi 171 ribu orang, padahal saat itu puncak pandemi covid, dan banyak prang miskin banyak mengalami kesulitan hidup karena kehilangan pekerjaan," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (31/5) malam.
Angka itu berbanding terbalik jika dibandingkan dengan jumlah orang miskin di Indonesia. Pasalnya, Data BPS menunjukkan per Maret 2021 atau saat pandemi covid menggila di Indonesia, jumlah rakyat Indonesia yang hidup miskin mencapai 27,54 juta orang, naik dibanding Maret 2020 yang 26,42 juta orang.
"Itu menunjukkan korelasi nilai Pancasila dalam ekonomi kita tidak ada dan malah cenderung sekarang ini ekonomi mengarahnya ke kapitalisme liberal dan oligarki sehingga membuat kekayaan rakyat hanya terkonsentrasi ke beberapa gelintir orang saja," katanya.
Ketidakadilan sosial atau ketimpangan juga terjadi pada masalah kepemilikan lahan. Ia mengatakan rasio gini atau koefisien pengukur derajat ketidakmerataan kepemilikan lahan di Indonesia masih mencapai 0,6 atau 0,7.
Di tengah tingginya ketimpangan itu, harga tanah dan properti justru naik 20 persen per tahun. Sementara itu, di tengah lonjakan harga tanah dan properti, kenaikan upah para pekerja di Indonesia belakangan ini tidak pernah menyentuh 20 persen, apalagi setelah berlakunya UU Cipta Kerja.
"Ini memperparah. Orang miskin sulit memiliki tanah, rumah karena untuk mengejar kenaikan harga yang 20 persen per tahun, peningkatan upah mereka tidak mendukung," katanya.
Ketidakadilan sosial lain kata Bhima juga terlihat dari kebijakan pemerintah terhadap rakyat, salah satunya petani. Meskipun Data BPS menunjukkan bahwa lebih dari 46 persen angka kemiskinan disumbang oleh rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian, tapi perhatian pemerintah terhadap sektor ini masih cukup minim.
Paling tidak, dukungan itu bisa dilihat dari keberpihakan anggaran subsidi pupuk.
Dalam 5 tahun terakhir, anggaran untuk subsidi pupuk terus menurun. Berdasarkan data pemerintah, nilai subsidi pupuk dalam beberapa tahun terakhir memang turun Rp10 triliun.
Rinciannya; 2019 (Rp34,3 triliun), 2020 (Rp31 triliun), 2021 (Rp29,1 triliun), 2022 (Rp25,3 triliun), 2023 (Rp24 triliun). Di tengah minimnya dukungan anggaran tersebut, Bhima mengatakan petani juga kehilangan kuasa mereka atas harga jual produk pertanian mereka.
Pasalnya, tidak ada bantuan sama sekali yang diberikan pemerintah selama ini.
"Di sisi lain, ketika harga bahan kebutuhan pokok naik, petani tidak bisa berbuat apa-apa," katanya.
Lihat Juga : |