Menjadi seorang komisaris wanita dan bukan orang kulit putih, bukan menjadi penghalang bagi Sonita. Ia mengatakan di AS komposisi perempuan di perusahaan besar memang masih minim. Semakin tinggi jabatan, semakin sedikit posisi yang diisi perempuan.
Hal ini bukan tanpa alasan. Sonita menjelaskan kebanyakan perempuan di AS memilih tidak berkarir tinggi karena mau fokus pada keluarga saja.
Terkait isu gender dan ras, Sonita bersyukur tidak pernah mengalami diskriminasi. Hanya saja, masih ada stigma yang mengakar di masyarakat bahwa idealnya bos di perusahaan besar adalah laki-laki dan berkulit putih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia ingat pernah dianggap sebagai karyawan biasa saat melakukan perjalanan bisnis ke Eropa. Saat itu Sonita berangkat bersama salah satu bawahannya, seorang pria kulit putih.
"Orang berasumsi dia (bawahan saya) bosnya. Memang di dunia ini jarang ada perempuan apalagi, orang Asia jadi (bos). Ya jadi asumsi saja kalau orang putih atau laki-laki yang pasti itu bosnya," tutur Sonita.
Selain itu, masih banyak yang berpandangan orang Asia memang pekerja keras, tapi tidak banyak berpendapat atau punya visi dan sudut pandang kuat. Karenanya, atasan Sonita pun memberi nasihat kepadanya terkait hal ini meski ia tak merasa kinerjanya demikian.
Terkait energi bersih, Sonita sadar penggunaannya oleh masyarakat tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba atau dalam waktu singkat. Harga energi bersih pun saat ini terbilang mahal. Karenanya, para pemangku kepentingan termasuk pemerintah harus berupaya membuat energi bersih dijual lebih murah.
Masyarakat juga harus terus diedukasi terkait pentingnya menggunakan energi bersih dengan cara sederhana dan mudah dimengerti. Setelah itu, barulah didorong untuk mulai menggunakan alat rumah tangga yang lebih efisien. Sonita mencontohkan, masyarakat bisa mulai menggunakan lampu yang bisa menghemat daya listrik.
Ia juga mendukung pemerintah untuk memberikan subsidi agar masyarakat beralih ke energi bersih. Misalnya, memberikan keringanan pajak untuk pengguna mobil listrik hingga bantuan kredit.
Di AS, Sonita menjelaskan listrik dari energi kotor harganya dinaikkan pada jam-jam tertentu agar masyarakat mengurangi konsumsi listrik.
"Mengubah tarif listrik supaya kalau jam-jam yang lagi banyak makai itu dibikin agak lebih mahal, supaya orang mengurangi pemakaian," katanya.
Tinggal lama di AS tidak serta merta membuatnya lupa pada Tanah Air. Dengan sejumlah pengalaman dan relasinya, Sonita beberapa kali mengajak pengusaha muda Indonesia berkunjung ka AS. Di sana ia memfasilitasi para pengusaha untuk bertemu perusahaan-perusahaan besar dan mendapatkan ilmu baru.
"Belajar bagaimana caranya supaya bisa skala bisnisnya gitu dan bisa diterapkan di Indonesia," tuturnya.
Sonita pun membagikan tips bagi anak muda agar bisa sukses. Pertama, harus bisa menerima perubahan. Artinya, mereka harus bisa adaptif dengan zaman. Ini penting agar tidak tertinggal oleh orang lain.
Kedua, jangan takut gagal karena kegagalan merupakan guru paling baik.
"Terus terang kalau kita enggak make mistake itu artinya kita enggak pernah step out comfort zone. Kalau enggak pernah step out comfort zone, kita enggak akan berkembang," katanya.
Ketiga, campurkan minat (passion) dengan keterampilan (skill). Jika ada ketertarikan di suatu bidang, maka barengilah gairah itu dengan kemampuan.
"Ada impact-nya, itu jadi bikin kita bersemangat," tandasnya.
(mrh/pta)