Lembaga Energi Internasional (IEA) mencatat India sebagai konsumen listrik terbesar ke-3 di dunia sekaligus produsen energi terbarukan terbesar ke-3 di dunia pada tahun 2022.
Sementara IEA juga mencatat persoalan Indonesia ada pada dua isu utama: kebijakan sistem kelistrikan dan manajemen pembangkit yang buruk. Baik Putra maupun Surya Dharma sepakat, pandangan tersebut benar adanya.
"Struktur kelistrikan India memang memungkinkan masuknya EBT secara agresif. Kalau di Indonesia kan masuknya cuma dari PLN, single entity saja. Di India EBT, terutama surya, bisa diproduksi oleh berbagai pihak begitu juga pemasarannya. Ini didukung oleh komitmen pemerintahnya yang juga kuat," kata Putra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Surya Darma menyoroti regulasi lokal yang tidak konsisten dalam kebijakan EBT, sehingga membingungkan iklim investasi.
"Misalnya Permen 20/2021 menyebut PLTS Atap bisa dipasang dengan kapasitas maksimal. Ternyata kemudian, kapasitasnya yang bisa diterima hanya 15% - ini kan buat investor jadi sangat tidak menarik. Ngapain investasi banyak cuma bisa dijual 15%?" tukas Surya Darma.
Ia juga menyoroti Perpres 112/2022 tentang penetapan harga listrik EBT yang sejak lama ditunggu kalangan investor. Cikal-bakal Perpres itu menurut Surya Darma diusulkan oleh Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) yang pernah dipimpinnya sejak 2019.
Setelah diterbitkan, menurut Surya isinya justru tidak dianggap memberi jaminan berusaha dalam bidang energi.
"Memang diatur bagaimana PLN jadi pembeli daya dari pembangkit EBT, tetapi sifatnya tidak wajib. Penetapannya tidak ditentukan dalam Perpres tetapi berdasar negosiasi dengan basis penentuan harga tertinggi (price cap). Ini memadamkan semangat investasi," tambah Surya.
Kebijakan yang dianggap kurang singkron dengan realitas dunia usaha ini dipandang Surya kemudian membuat Indonesia jauh ketinggalan. Bukan cuma dari China dan India, tetapi bahkan dari negara-negara tetangga kawasan ASEAN.
(vws)