Jakarta, CNN Indonesia --
Rencana Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono memberlakukan dua sesi jam masuk kerja karyawan, pukul 08.00 WIB dan 10.00 WIB, menuai kontroversi.
Padahal, Heru berdalih sudah membahas usulan dua sesi jam masuk kerja tersebut dengan sejumlah pihak, mulai dari Polda Metro Jaya, Dinas Perhubungan, hingga ahli transportasi melalui diskusi grup terfokus (focus group discussion/FGD).
"Hasilnya dari ahli-ahli transportasi diberikan kepada kami dan nanti tentunya setelah ini ada uji coba apakah ini bisa dan tidak mengganggu kenyamanan masyarakat, tidak mengganggu kenyamanan dalam bekerja, ya kita teruskan dan kita akan laporkan kepada Kementerian Perhubungan," ujar Heru di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (6/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Heru mengklaim kondisi lalu lintas pada pukul 06.00 WIB bak air bah imbas warga dari sejumlah daerah penyangga ibu kota, seperti Bekasi, Tangerang, hingga Depok mengarah bersamaan menuju ke Jakarta. Ia berdalih dua sesi jam masuk kerja bisa menjadi solusi mengurai kemacetan.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan uji coba dua sesi jam masuk kerja bakal lebih dahulu menyasar internal Pemprov DKI Jakarta.
Namun, ia tidak menjelaskan kapan uji coba dilakukan. Syafrin juga tak mengungkap alasan mengapa uji coba hanya dilakukan untuk internal Pemprov.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Inayah Hidayati merinci untung rugi Heru Budi membagi jam kerja karyawan DKI menjadi dua sesi. Keuntungan pertama adalah mengurangi kemacetan.
Inayah sepakat dengan Heru bahwa kemacetan lalu lintas bisa dikurangi dengan aturan baru ini. Bahkan, waktu perjalanan ke kantor yang lebih singkat bisa mengurangi tingkat stres karyawan.
"Para pekerja dapat mengatur mobilitas mereka dengan lebih baik sehingga mereka bisa tiba di kantor dengan lebih efisien dan tidak terjebak dalam kemacetan yang parah. Dengan mengurangi waktu yang dihabiskan dalam perjalanan, efisiensi waktu kerja dapat meningkat," katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (10/7).
Kedua, Inayah menyebut pekerja bisa mendapatkan work-life balance. Ia mencontohkan bagi pekerja yang dapat jatah masuk siang bisa menggunakan waktu kosong di pagi hari untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, mengurus anak, atau menyelesaikan kegiatan pribadi lain.
Sementara itu, pekerja yang kebagian kerja di pagi hari punya waktu luang di rumah sebelum gelap tiba. Pada akhirnya, karyawan bisa quality time bersama keluarga.
Namun, ia mengatakan dua keuntungan itu masih bergantung pada berapa waktu sisa yang didapat pekerja usai bermacet ria di jalan raya. Ujungnya, karyawan tetap kudu pintar-pintar bagi waktu agar bisa merasakan nikmat tersebut.
Inayah juga merinci kerugian yang berpotensi dialami pekerja. Pertama, sulitnya koordinasi dan komunikasi dengan kolega kantor.
Menurutnya, antara pekerja sesi satu dan dua bakal kesulitan berkoordinasi karena tidak bekerja dalam satu waktu yang sama. Pada akhirnya, alur kerja dan kolaborasi tim bisa terhambat.
Kedua, dua sesi jam masuk kerja bakal mengganggu operasional bisnis, terutama soal penggunaan sumber daya dan fasilitas kantor. Ini membuat waktu penggunaan fasilitas kantor bisa molor dan biaya operasional perusahaan bengkak.
Inayah mencontohkan penggunaan ruang kantor, peralatan, AC, listrik, hingga fasilitas lainnya yang malah menjadi double di dua sesi jam kerja tersebut.
"Menurut pendapat saya, pembagian jam masuk kerja hanya solusi sementara untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Solusi yang lebih efektif adalah dengan memperbaiki sistem transportasi publik secara menyeluruh, termasuk perbaikan jalan, peningkatan moda transportasi, dan peningkatan frekuensi kendaraan umum, seperti Transjakarta dan KRL," terangnya.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Alihkan ke Transportasi Massal
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) pun membedah untung rugi manuver Heru Budi Ini. Terlebih, target utama yang disasar Pemprov DKI adalah mengurai kemacetan.
Ketua Forum Transportasi Angkutan Jalan dan Kereta Api MTI Aditya Dwi Laksana menilai pembagian jam kerja malah akan menyulitkan, terutama memantau pengawasannya di lapangan. Tak hanya itu, Aditya menegaskan tidak semua instansi mudah mengatur jam masuk kerja dua sesi ini.
"Terutama jam kepulangan kerja karena akan terkait dengan, misalnya biaya perpanjangan listrik dan utilitas kantor untuk yang berkantor di gedung. Mereka yang pulang lebih awal pun masih bisa ada aktivitas lain dan itu tetap akan menggunakan kapasitas jalan yang sama," jelasnya.
Menurutnya, Pemprov DKI Jakarta seharusnya bukan fokus ke pengaturan jam kerja, melainkan getol mengalihkan para pekerja dari kendaraan pribadi ke angkutan umum massal. Ia meminta ada upaya serius dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas transportasi publik sehingga menarik minat masyarakat.
Ia menegaskan upaya pembagian jam masuk kerja adalah solusi temporer. Tidak ada salahnya dicoba, tetapi kudu segera dinilai dampak dan efektivitasnya.
"Intinya, pemerintah seharusnya tetap fokus membangun jaringan transportasi publik yang semakin luas dengan tarif terjangkau, serta waktu tempuh makin singkat. Ini akan lebih mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum. Setelah itu, baru mengatur pengendalian penggunaan kendaraan pribadi," tutup Aditya.
Senada dengan Inayah dan Aditya, Pengamat Tenaga Kerja Payaman Simanjuntak mengatakan perusahaan akan kesulitan menuruti kemauan Pemprov DKI Jakarta. Pasalnya, perlu dipikirkan matang-matang siapa yang kudu masuk pukul 08.00 WIB dan 10.00 WIB.
Alih-alih setuju dengan gagasan Heru Budi, Payaman berpendapat seharusnya pemerintah bisa belajar dari masa pandemi covid-19. Menurutnya, bekerja dari jarak jauh bisa kembali dilanggengkan, bergantian antara setiap karyawan.
"Tentu sesuai dengan jenis pekerjaannya. Ada beberapa pegawai yang secara fisik harus hadir di tempat kerja," catat Payaman.
Sementara dari sisi kebijakan publik, Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga skeptis aturan dua sesi jam masuk kerja bakal berhasil. Pasalnya, manuver sejenis pernah dilakukan saat DKI Jakarta masih dipimpin Fauzi Bowo dan hasilnya gagal total.
Nirwono mengatakan karyawan Jakarta dan daerah penyangga lain malah beradu berangkat lebih pagi dengan kendaraan pribadi. Agendanya macam-macam, mulai dari mengantar anak sekolah, mengantar istri ke kantor, barulah datang ke tempat kerja.
"Jadi mau dibagi dua jam masuk kerja tetap saja mereka berangkat pagi-pagi dan kemacetan akan terjadi. Tidak akan berpengaruh signifikan, kemacetan tetap akan terjadi di pagi hari," kritik Nirwono.
Ia pun mencetuskan solusi agar Pemprov DKI Jakarta menerapkan 4 hari kerja, yakni Senin-Selasa dan Kamis-Jumat. Nirwono menyebut Rabu bisa diberlakukan sistem work from home (WFH) atau work from anywhere (WFA) yang semasa pandemi ampuh meredam macet dan membuat kerja produktif.
[Gambas:Photo CNN]
Ia juga mendorong aturan WFH atau WFA bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) segera diterapkan. Setelah itu, baru pemerintah bisa bergeser mengatur jam sekolah hingga waktu kerja perusahaan yang tetap disesuaikan dengan jenis usahanya.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Eko Sakapurnama juga mengkritik penyusunan kebijakan ini. Menurutnya, Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono tak cukup melakukan FGD terbatas, melainkan perlu juga survei kepada para karyawan terdampak.
Jika dipaksakan, Eko menyarankan pekerja untuk menggunakan kendaraan umum ketimbang mobil dan motor pribadi. Bahkan, ia meminta Pemprov DKI Jakarta untuk merayu Kementerian Perhubungan agar mempercepat izin operasional LRT Jabodebek.
"Selain itu, aspek keamanan juga perlu ditingkatkan, terutama jam kerja yang mundur ke malam hari bila jam kerjanya dimundurkan menjadi pukul 10 pagi. Sehingga aspek kenyamanan dan keamanan warga tetap terjamin untuk bisa mendorong masyarakat lebih memilih public transport dibanding kendaraan pribadi," tutup Eko.
[Gambas:Video CNN]