Jakarta, CNN Indonesia --
Kewajiban belanja minimal (mandatory spending) resmi dihapuskan dari Undang-undang (UU) tentang Kesehatan. Keputusan itu ditentukan setelah DPR mengesahkan RUU tentang kesehatan menjadi uu dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023.
Padahal, dalam pasal 171 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebelum direvisi, mandatory spending diatur sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji.
Kendati demikian, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan kewajiban alokasi minimal anggaran kesehatan harus dihapus lantaran selama ini belanja wajib sebesar 5 persen untuk kesehatan tidak berjalan baik, dan justru rawan disalahgunakan untuk program-program yang tidak jelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengalaman pemerintah mengenai mandatory spending itu tidak 100 persen mencapai tujuannya. Tujuan kita bukan besarnya mandatory spending, tapi adanya commitment spending anggaran dari pemerintah untuk memastikan program-program di sektor itu bisa berjalan," ujar Budi.
Sementara Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan belanja di sektor kesehatan akan tetap ada, meski besarannya tak lagi diatur minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD sebagaimana mandatory spending dalam UU Kesehatan sebelumnya.
"Kita kan sudah lihat bahwa 'oh rata-rata kebutuhannya sekitar sekian.' Lihat saja dalam beberapa tahun terakhir, kita enggak pernah kurang dari 5 persen karena kita memang melihat kebutuhan untuk belanja yang cukup untuk itu," ujar Isa saat ditemui di Gedung DPR, dikutip dari CNBC Indonesia.
Ia menyebut tidak perlu khawatir pemerintah tidak akan mengalokasikan dana yang cukup untuk sektor kesehatan. Menurutnya, penghapusan mandatory spending justru baik bagi anggaran karena tidak lagi perlu mengeluarkan dana untuk hal yang tidak jelas.
"Jadi enggak usah khawatir sebelumnya bahwa kita enggak akan mencukupi kebutuhan-kebutuhan itu secara pas gitu ya, tapi kita juga enggak ingin kita sudah mengalokasikan ternyata enggak bisa digunakan karena kita enggak tahu mau belanja apa," ucap Isa.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengatakan dihapusnya mandatory spending dalam UU Kesehatan akan berpengaruh terhadap target yang akan dicapai seperti target prioritas stunting, perbaikan alat dan fasilitas kesehatan, bahkan kualitas pelayanan kesehatan.
Ia juga menilai kebijakan itu akan berdampak terhadap berbagai program strategis dan prioritas pembangunan kesehatan nasional maupun daerah. Program kesehatan akan sulit terlaksana dengan dalih keterbatasan anggaran.
"Kebijakan tersebut akan memberatkan konsumen, yang sebelumnya ditanggung oleh pemerintah ke depan akan dibebankan kepada masyarakat sebagai pengguna dari jasa kesehatan ini," katanya.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Jaminan Anggaran Masih Diperlukan
Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan penghapusan mandatory spending dalam UU Kesehatan akan berimplikasi secara luas. Salah satunya tidak adanya jaminan anggaran untuk stunting padahal banyak daerah masih memiliki tingkat stunting yang tinggi.
Ia juga khawatir porsi anggaran kesehatan dalam APBN tidak akan mencapai 5 persen. Akibatnya terjadi liberasi dana kesehatan yang lebih banyak mengandalkan peran swasta atau terjadi komersialisasi di sektor kesehatan. Hal itu akan mempersulit masyarakat miskin mendapatkan hak kesehatan.
Penghapusan mandatory spending juga diperkirakan akan berpengaruh pada Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
"Karena tidak ada jaminan lagi bagi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran APBN yang proporsional untuk PBI BPJS Kesehatan, karena enggak ada jaminan konstitusinya kan," kata Bhima.
Ia menilai alasan pemerintah menghapus mandatory spending adalah karena selama ini banyak anggaran yang digunakan untuk program yang tidak jelas tidak lah tepat lantaran ada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bisa melakukan tindak lanjut terhadap kementerian atau lembaga terkait agar memperbaiki kualitas belanja kesehatan.
"Khawatir mandatory spending yang dicabut dalam Omnibus Law Kesehatan sebenarnya bukan untuk memperbaiki anggaran kesehatan tapi lebih memperkecil kontribusi anggaran kesehatan terhadap peningkatan defisit APBN," kata Bhima.
Bhima menambahkan pemerintah harusnya menaikkan mandatory spending menjadi 10 persen, bukan malah menghapusnya. Ia menilai tidak adil jika mandatory spending kesehatan dihapus tetapi proyek-proyek seperti IKN dan pembangunan infrastruktur justru mendapatkan porsi sangat besar dalam APBN.
"Bagaimanapun kesehatan adalah hak utama masyarakat, bahkan di atas hak untuk mendapatkan infrastruktur jalan tol yang layak," katanya.
Anggota BPJS Watch Timboel Siregar juga mengkritik penghapusan mandatory spending kesehatan. Secara yuridis langkah itu bertentangan dengan Tap MPR no. X/MPR/2001 di Poin 5a huruf 4 yang berbunyi : Menugaskan kepada Presiden untuk mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan 15 persen dari APBN.
Ia menilai penghapusan mandatory spending kesehatan akan berpengaruh pada beberapa hal. Pertama, potensi penggunaan dana iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) untuk pembiayaan kesehatan yang seharusnya dibiayai APBN atau APBD. Kedua, jumlah peserta PBI yang dibiayai iurannya dari APBN dan APBD akan dikurangi.
[Gambas:Photo CNN]
"Hal ini berarti akan semakin banyak rakyat miskin yang dinonaktifkan dari JKN," katanya.
Lalu, berpotensi mendukung defisit pembiayaan JKN karena dana iuran digunakan untuk menjalankan kegiatan dan program yang seharusnya dibiayai APBN atau APBD.
Kemudian, enam pilar transformasi kesehatan tidak akan didukung oleh kecukupan anggaran. Keenam pilar itu antara lain Transformasi Layanan Primer, Transformasi Layanan Rujukan, Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan, Transformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan, Transformasi SDM Kesehatan, dan Transformasi Teknologi Kesehatan.
"Sehingga pelaksanaan enam pilar transformasi kesehatan akan terkendala," katanya.
[Gambas:Video CNN]