PT Pertamina (Persero) melalui anak perusahaannya, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), berkomitmen untuk mengembangkan kilang-kilang yang telah beroperasi saat ini guna menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan. Salah satu inisiatifnya adalah Green Refinery, proses pengolahan bahan bakar minyak yang ramah lingkungan (green fuel).
Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman, menyampaikan bahwa pengembangan green fuels dari Green Refinery Pertamina menunjukkan komitmen KPI dalam mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) Nomor 7, yakni 'Energi Bersih dan Terjangkau'. Selain itu, langkah ini juga sejalan dengan komitmen perseroan dalam menjaga ketahanan energi nasional dan mendukung Net Zero Emission (NZE) 2060.
"Green Refinery Pertamina merupakan komitmen Kilang Pertamina untuk memproduksi bahan bakar yang berkualitas dan ramah lingkungan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (14/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menambahkan, pengembangan Green Refinery merupakan sebuah inisiatif strategis dalam mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) nasional pada 2025. Dengan menggunakan bahan baku terbarukan (renewable feedstock), Green Refinery dapat menghasilkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi emisi gas buang.
Bahan baku yang diolah di kilang Pertamina antara lain minyak kelapa sawit/Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO). Ke depan, Green Refinery juga dapat dikembangkan untuk mengolah minyak jelantah/Used Cooking Oil (UCO) menjadi biofuels.
Hingga saat ini, Pertamina telah berhasil mengolah green fuel dengan kapasitas 3 KBPD dari feedstock RBDPO yang telah dijernihkan menjadi produk Green Diesel 100 persen, yaitu Pertamina Renewable Diesel (Pertamina RD).
Pertamina RD saat ini telah dipasarkan di market domestik dan berkesempatan mendukung pemenuhan kebutuhan Renewable Power dari Generator Set (Genset) di acara EWTG G20, dan Formula E World Championship. Selain pasar domestik, Pertamina RD juga dipasarkan secara ekspor untuk pasar Eropa pada 2022.
Produk green fuel lain yang dapat diproduksi melalui Green Refinery adalah Sustainable Aviation Fuel (SAF) untuk bahan bakar pesawat terbang (Bioavtur) yang juga telah dilakukan uji coba terbang dengan sukses pada 2022 lalu dengan menggunakan CN235.
Selanjutnya, akan dilanjutkan dengan uji terbang komersial (commercial flight test) dalam waktu dekat untuk pengujian Bioavtur pada salah satu pesawat komersial dari maskapai BUMN terbesar di tanah air.
Pengembangan Green Refinery akan terus dikembangkan seperti Green Refinery Cilacap fase 2 untuk meningkatkan kapasitas pengolahan menjadi 6 KBPD dengan varian feedstock yang lebih luas, yaitu dapat mengolah hingga spesifikasi minyak jelantah. Green Refinery Cilacap Fase 2 ditargetkan dapat onstream pada 2026 untuk meningkatkan kualitas produk dan menurunkan emisi gas buang.
Di samping Cilacap, pengembangan Green Refinery Plaju dengan kapasitas pengolahan 20 KPBD dapat memproduksi Pertamina RD(HVO), Bioavtur(SAF), dan BioNaphta yang ditargetkan dapat selesai pada 2027.
Sebagai informasi, pada roadmap pengembangan Kilang Pertamina saat ini, KPI mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang memperkirakan kebutuhan produk BBM akan terus meningkat hingga 2040. Untuk menghadapi tantangan ini, Pertamina telah menyusun roadmap pengembangan kilang mereka dengan tiga poin utama.
Pertama, KPI akan meningkatkan kapasitas pengolahan dari 1,05 juta barel per hari (BPD) menjadi 1,4 juta BPD. Kedua, produksi BBM akan meningkat dari 700 ribu BPD menjadi 1,2 juta BPD. Ketiga, produksi petrokimia akan meningkat dari 1,6 juta ton per anum menjadi 7,4 juta ton per anum.
Roadmap ini juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan BBM, terutama produksi Solar dan Avtur, yang akan sepenuhnya diproduksi di dalam negeri. Di mana sejak 2019, Pertamina telah mencapai kemandirian dalam hal produksi Solar dan Avtur.
Dengan roadmap pembaharuan Kilang Pertamina ini, pengembangan yang dilakukan telah mempertimbangkan strategi yang berfokus pada lingkungan dan produksi BBM ramah lingkungan setara dengan standar EURO V, serta peningkatan Nelson Complexity Index (NCI) atau kompleksitas kilang untuk meningkatkan produksi produk bernilai tinggi.
(rir)