Andry menuntut pemerintah melalui KLHK berani mematok batasan-batasan dalam proses bisnis sejumlah industri penyumbang emisi. Harapannya, industri bisa lebih sadar terhadap kondisi lingkungan dan menerapkan prinsip usaha berkelanjutan.
Ia menilai pemerintah belum punya kesadaran untuk menegakkan keadilan. Operasional PLTU batu bara saja masih bersinggungan dengan para pemangku kebijakan.
"Ini wewenang KLHK untuk menurunkan polusi ini, menurut saya justru harus konkret (solusinya). Jangan hanya denial, padahal menurut saya mereka adalah kementerian yang harus bertanggung jawab terhadap kondisi yang ada di Jabodetabek sekarang," tuntut Andry.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain menuntut KLHK berani menindak tegas PLTU batu bara dan industri tak ramah lingkungan, Andry mengkritik solusi yang ditawarkan Kemenhub. Ia menilai kebijakan 4 in 1 tidak akan menuntaskan polusi udara di Jakarta.
Bahkan, Andry menaruh curiga ujung-ujungnya pemerintah malah promosi kendaraan listrik. Padahal, memindahkan kendaraan konvensional berbasis bahan bakar minyak (BBM) ke electric vehicle (EV) cuma sebatas relokasi, tidak benar-benar memberangus polusi udara.
Ia meminta pemerintah fokus memikirkan nasib integrasi transportasi publik di Jabodetabek. Menurutnya, 4 in 1 sama saja melanggengkan kendaraan pribadi.
"Itu menurut saya yang dibicarakan oleh Menteri Perhubungan (Budi Karya Sumadi) justru tidak seharusnya dibicarakan. Berpikiran transportasinya adalah transportasi privat (sistem 4 in 1), ini salah pola pikir yang dilakukan menteri perhubungan," tutupnya.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Inayah Hidayati turut meminta keseriusan pemerintah menindak emisi PLTU, salah satunya dengan memungut pajak karbon.
Di lain sisi, negara bisa memberi insentif bagi para pembangkit listrik yang berinvestasi dalam teknologi pengurangan emisi.
Ia lantas merinci sederet dampak ekonomi yang akan timbul dari sengkarut masalah polusi udara ini.
Pertama, biaya kesehatan yang bengkak.
"Polusi udara dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit pernapasan hingga kronis. Biaya perawatan kesehatan bagi individu dan pemerintah melalui jaminan kesehatan nasional (JKN) dapat meningkat akibat hal ini," jelas Inayah.
Kedua, ada ancaman penurunan produktivitas pekerja yang ujungnya bermuara ke masalah kesehatan.
Menurutnya, pekerja yang sakit atau merasa tidak nyaman akan cenderung kurang produktif, di mana bakal mengurangi performa kerja.
Ketiga, anjloknya minat wisatawan dan investasi.
Inayah menilai polusi udara bakal mengurangi kualitas hidup perkotaan sehingga berdampak pada citra kota, di mana muncul potensi penurunan pendapatan sektor pariwisata serta membuatnya kurang menarik sebagai tempat investasi.
"Lingkungan yang tidak sehat dapat membuat orang enggan menghabiskan waktu atau berinvestasi di kota tersebut. Dalam hal Jakarta misalnya, kegiatan konser musik juga akan terganggu karena bisa saja musisi internasional menolak datang," tuturnya.
Keempat, peningkatan biaya energi.
Penurunan kualitas udara pada akhirnya memaksa orang untuk menggunakan alat pembersih atau pendingin udara tambahan. Ini tentu membuat pengeluaran energi rumah tangga atau kantor bengkak.
Oleh karena itu, Inayah berharap pemerintah menyiapkan solusi-solusi jangka panjang, bukan hanya berpikir cetek. Ia berpesan agar transportasi publik bisa terus digalakkan.
Inayah menyebut butuh dukungan infrastruktur agar masyarakat yakin beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Selain itu, ia menyerukan agar masyarakat jangan ragu berjalan kaki hingga bersepeda sebagai alternatif mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
"Kalau 4 in 1 saya pesimis, akan menjadi seperti 3 in 1 saja. Nanti bermunculan joki-joki seperti dulu. Daripada 4 in 1, lebih baik fokus memperbaiki sistem transportasi publik untuk keberlanjutan jangka panjang," tandasnya.