Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal skeptis soal satu warna keputusan BRICS. Menurutnya, negara-negara anggota blok ini masih kerap beradu kepentingan.
Faisal paham negara anggota BRICS punya satu kesamaan, yakni besarnya nilai ekonomi dan tingkat kesejahteraan di level berkembang. Oleh karena itu, ia enggan menyebut ini sebagai sebuah kerugian, melainkan tantangan untuk Indonesia.
"Satu sama lain juga punya interest berbeda. Sering kali antara India dan China secara political economy bersebrangan, Rusia juga tidak selalu sejalan dengan China. Jadi, ada perbedaan-perbedaan pandangan dan ideologi yang mempengaruhi," ungkap Faisal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini yang menjadi tantangan atau kesulitan kalau kita masuk ke dalam BRICS. Tantangannya memberikan warna agar satu suara itu tidak mudah, tapi paling tidak bisa memberikan tandingan bagi kumpulan negara maju yang sudah ada selama ini," sambungnya.
Faisal yakin Indonesia bisa menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang jika masuk ke dalam BRICS.
Menurutnya, kelompok negara maju, seperti G7 dan OECD, yang mendominasi perdagangan dunia punya tantangan dan kepentingan berbeda dengan negara berkembang.
"Dengan bergabung di BRICS, kita bisa memberikan warna untuk menyeimbangkan kelompok-kelompok negara maju yang sudah ada. Sehingga lebih bisa menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang, termasuk juga menyuarakan Indonesia yang punya pasar dan ekonomi besar," tutup Faisal.
Teranyar, Pemerintah Afrika Selatan menyatakan lebih dari 40 negara tertarik bergabung dengan BRICS. Beberapa negara yang telah mendaftar secara resmi, yakni Argentina, Meksiko, Iran, Arab Saudi, Mesir, Nigeria, dan Bangladesh.