Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak mengatakan upaya pemerintah untuk mengubah syarat penerima subsidi motor listrik dari penerima bantuan dan UMKM menjadi masyarakat umum merupakan langkah baik yang patut didukung.
Namun, efektivitas program subsidi untuk meningkatkan penetrasi motor listrik dinilai belum signifikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ali, ada empat motif yang membuat seseorang mau membeli kendaraan, yakni kualitas kendaraan, harga beli, layanan purna jual, dan harga jual setelah kendaraan dipakai.
"Jika empat hal tersebut belum terpenuhi, rasanya sulit membangun ekosistem kendaraan listrik," kata Ali.
Ali mengatakan dalam dalam pengembangan sebuah ekosistem bisnis baru, termasuk program kendaraan listrik, peran utama harus dimainkan oleh BUMN sebagai perpanjangan tangan pemerintah.
"Setelah BUMN mampu membangun ekosistem kendaraan listrik, maka dengan sendirinya pihak swasta juga akan tertarik," kata Ali.
Senada, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai perluasan syarat penerima subsidi motor listrik merupakan langkah yang bagus karena bisa memperluas segmen pasar kendaraan listrik.
Namun, ia menilai persoalan subsidi kendaraan listrik bukan terletak pada syarat penerimanya, melainkan pada pengusaha yang menikmati kebijakan itu.
Menurutnya, pihak yang menikmati kebijakan subsidi tersebut justru bukan pelaku usaha domestik, melainkan merek mobil listrik asing seperti Hyundai dan Wulling. Ditambah lagi, pemerintah melonggarkan bea masuk kendaraan listrik lainya dari China, yakni BYD.
Sementara perusahaan otomotif konvensional lama seperti Astra yang selama ini banyak menggunakan komponen lokal belum ikut bermigrasi ke produksi kendaraan listrik.
"Jadi jika kebijakan ini didorong secara masif saat ini justru akan sangat menguntungkan merek-merek ini (asing)," kata Ronny.
Ia membandingkan dengan Amerika Serikat yang mendorong Ford dan General Motors (GM) untuk segera ikut memasuki bisnis kendaraan listrik. Dengan begitu pelaku domestik selain Tesla, bisa ikut menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.
Sementara untuk motor, Ronny melihat, sudah muncul beberapa merek lokal yang produknya sudah beredar di pasaran. Namun, perusahaan seperti Astra dan Yamaha yang sudah banyak menggunakan komponen lokal dalam produk konvensionalnya belum terlihat akan ikut bermigrasi untuk memproduksi motor listrik.
Alhasil, kebijakan subsidi akan menekan pasar pelaku kendaraan roda dua konvensional, yang pelaku utamanya sangat banyak menyerap komponen lokal dan melibatkan banyak mitra lokal.
"Pendeknya, kebijakan ini berpeluang menjadikan masyarakat Indonesia hanya sebagai konsumen untuk produk-produk yang justru kurang memiliki multiplier effect secara luas pada perekonomian nasional, karena tak melibatkan mitra lokal seluas pelaku-pelaku industri otomotif konvensional," kata Ronny.