Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menghebohkan jagad maya usai mengatakan akan menghapus pertalite dan menggantinya dengan pertamax green 92 pada 2024.
"BBM subsidi kita naikkan dari RON 90 ke RON 92, karena aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) oktan number yang boleh dijual di Indonesia minimum 91," kata Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (30/8).
Tak lama, Nicke mengklarifikasi bahwa wacana penghapusan pertalite itu masih berupa usulan Pertamina. Ini merupakan bagian dari Program Langit Biru Tahap 2 selaku kajian internal Pertamina yang bakal diusulkan ke pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan wacana itu belum bisa dilakukan tahun depan karena terkendala bahan baku.
Arifin mengatakan bahan baku etanol alias tebu yang diperlukan untuk memproduksi pertamax green belum banyak tersedia di Indonesia.
Saat ini, imbuhnya, perkebunan tebu untuk bahan baku etanol sudah ada di Jawa Timur. Namun, itu belum cukup sehingga pengembangannya harus diupayakan dengan bantuan teknologi dari Brasil.
"Nah kalau itu bisa, nanti itu rencana, ya kita lihat potensi pengembangannya di Papua. Karena dulu katanya bibit tebu itu asalnya dari Papua, pindah ke Portugis, baru ke Brasil. Nah sekarang balik ke habitatnya," ujarnya di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat (1/9).
Menanggapi rencana penggantian pertalite jadi pertamax green, Rektor Institut Teknologi PLN Iwa Garniwa berpendapat sampai kapanpun tidak ada waktu yang tepat bagi Indonesia beralih ke bahan bakar lebih bersih.
Pasalnya, kesadaran masyarakat akan green energy masih sangat jauh.
"Perlu waktu yang panjang dan mungkin malah sulit untuk sadar akan hal tersebut. Sehingga keputusan di atas (penghapusan pertalite dan beralih ke pertamax green 92) kapanpun harus dilakukan karena dampak sekarang dan tahun depan menurut saya sama saja," katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (4/9).
Iwa berpendapat transisi energi ini bisa dilakukan jika ekosistem primer sudah terbentuk. Menurutnya, ekosistem penting untuk menjaga kontinuitas pertamax green 92.
Meski mendesak segera diimplementasikan, Iwa berpesan agar pemerintah tidak gegabah jika memang ekosistemnya belum siap, mulai dari hulu hingga hilir. Jika dipaksakan, tentu bakal merugikan banyak pihak.
Senada, Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti menilai pasar Indonesia belum siap dengan kehadiran pertamax green. Selain karena masalah pasokan tebu, ia menyebut peta jalan bahan bakar bioetanol di Indonesia masih belum kuat.
Yayan mengatakan butuh waktu sekitar 8 tahun-10 tahun bagi Indonesia untuk mempersiapkan hal tersebut. Ia menilai waktu panjang ini harus dimanfaatkan untuk menggarap pengembangan infrastruktur yang masif dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 100 persen.
"Pertamax green 92 ini pasti akan impor lagi. Saya kira kita sedang tidak baik-baik saja pada saat ini karena harga minyak yang tidak bisa diperkirakan. Saya kira ini strategi untuk mengalihkan impor fossil fuels ke bioetanol yang tidak murah juga. Pasar di kita masih belum siap. Ini saja masih blunder. Andaikan dipaksakan, ranah politik lagi yang bermain," kritik Yayan.
Ia juga menyinggung kesiapan lembaga dalam transisi energi ini. Menurutnya, stakeholder di Indonesia kerap tidak fokus, di mana program biofuel belum beres sudah mau coba-coba menggarap bioetanol.
Yayan mengaku pesimis dengan kondisi saat ini. Ia menegaskan langkah Pertamina bisa dilakukan jika ada blueprint ekonomi energi yang jelas, mulai dari transisi hingga aspek keekonomiannya.
Bersambung ke halaman selanjutnya