ANALISIS

Kapan Waktu Tepat Ganti Pertalite dengan Pertamax Green 92?

CNN Indonesia
Selasa, 05 Sep 2023 07:15 WIB
Kesadaran masyarakat akan energi bersih menjadi faktor sulitnya mengganti pertalite dengan pertamax green. Masalah bahan baku juga jadi kendala wacana ini.
Kesadaran masyarakat akan energi bersih menjadi faktor sulitnya mengganti pertalite dengan pertamax green. Masalah bahan baku juga jadi kendala wacana ini. (CNN Indonesia/ Adi Ibrahim)

Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (CELIOS) MHD Zakiul Fikri turut mengkritisi usulan Pertamina yang ingin menghapus pertalite mulai tahun depan. Menurutnya, BBM subsidi tersebut secara umum dikonsumsi masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah dengan perkiraan populasi lebih dari 200 juta jiwa.

Ia mewanti-wanti jangan sampai realisasi kebijakan tersebut justru akan semakin menyulitkan. Terlebih, belum jelas bagaimana masa transisi di lapangan menuju bahan bakar nabati tersebut.

"Hanya untuk mengejar realisasi 5 persen bahan bakar nabati, kemudian menyulitkan 70 persen populasi masyarakat Indonesia. Ini mengakibatkan transisi energi menjadi tidak rasional dan jauh dari keadilan sosial," sebut Fikri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, ada tiga ceklis utama yang kudu disiapkan pemerintah jika ingin beralih ke pertamax green 92.

Pertama, melibatkan kepentingan dan daya dukung masyarakat dalam proses penghapusan pertalite sehingga tujuan utamanya adalah keadilan sosial berkelanjutan.

Kedua, keseimbangan alokasi anggaran yang perlu dipikirkan matang-matang. Ia berpesan agar jangan memberatkan, baik untuk masyarakat maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Ketiga, Fikri mewanti-wanti sektor hulu. Ia menyebut feedstock pertamax green 92 harus dipikirkan dan direncanakan dengan matang.

"Jangan sampai kemudian Pertamina menggebu-gebu melakukan produksi pertamax green 92, tetapi stok bahan mentahnya tidak memadai," kata Fikri.

Jika tidak disiapkan secara matang, ada tiga efek rambatan yang bakal terjadi.

Pertama, proses produksi pertamax green 92 terganggu atau jumlah produksinya akan rendah.

Kedua, terganggunya pasar bahan baku. Ia mencontohkan salah satu bahan dasarnya adalah tebu, di mana selama ini juga digunakan untuk penggunaan lain.

"Ketiga, ini akan mendorong terbukanya keran impor bahan baku pembuatan pertamax green 92. Kalau bahan bakunya impor, tentu harga produksi lebih mahal dibandingkan bahan baku yang telah tersedia dari dalam negeri. Ujung-ujungnya berdampak pada harga jual yang tinggi. Jadi, perlu pengkajian berdasarkan studi ilmiah yang matang," tandasnya.

Sementara itu, Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna menekankan pentingnya konsumen sebagai pengonsumsi BBM dan pembentuk pasar kendaraan.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah hati-hati membuat program dengan embel-embel lingkungan.

Ia menilai program hijau di balik setiap lonjakan harga energi bisa membentuk sentimen negatif terhadap transisi energi ke depan. Apalagi, ada pertimbangan lain, seperti anggaran yang berpotensi mendominasi.

"2024 rasanya tidak mudah untuk perubahan radikal. Penajaman distribusi BBM tepat sasaran perlu lebih dikonsistensikan, pembatasan pertalite bisa dilakukan, namun penghapusan total rasanya belum memungkinkan. Perbaikan fuel economy bagi produsen otomotif wajib berjalan," saran Putra.

Menurutnya, ada dua patokan utama jika pemerintah ingin merealisasikan program transisi ke pertamax green 92.

Pertama, kejelasan harga dan siapa yang akan menanggung jika ada lonjakan dan fluktuasi harga.

Kedua, sustainability sumber bahan baku bioetanol.

Putra mewanti-wanti efek samping dan kompetisi bahan baku tersebut dengan penggunaan kebutuhan pangan serta risiko jika dilakukan pembukaan lahan.



(skt/dzu)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER