Kementerian Keuangan mengaku sempat underestimate alias meremehkan dampak kebijakan hilirisasi ala Presiden Joko Widodo terhadap pertumbuhan ekonomi sejumlah daerah di Indonesia.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Abdurrohman mengakui forecast alias proyeksi pertumbuhan ekonomi di daerah hilirisasi kerap meleset. Ia menyebut prediksi Kemenkeu kadang lebih rendah dari apa yang terjadi di lapangan.
"Beberapa kali kami miss (meleset) sedikit forecast gross domestic product (GDP) kita. Ini kadang-kadang kami diskusi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) karena faktor regional yang menjadi tambahan cukup kuat yang membuat kami agak miss," ucapnya dalam Media Briefing APBN 2024 di Grand Aston, Cianjur, Jawa Barat, Senin (25/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
"Memang beberapa kali kami agak underestimate, beberapa kuartal terakhir kami akui. Ternyata kalau kami diskusi dengan BPS, lebih banyak (realisasi GDP) karena ada faktor regional," imbuh Abdurrohman.
Pada akhirnya, Abdurrohman mengakui bahwa distribusi pertumbuhan GDP alias produk domestik bruto (PDB) Indonesia cukup kuat disumbang hilirisasi. Ia mengklaim daerah-daerah yang sangat terbantu adanya program andalan Jokowi ini, antara lain Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Presiden Jokowi memang getol menggelorakan semangat hilirisasi yang diperkuat dengan larangan ekspor bahan mentah. Per Januari 2020, ia sudah melarang ekspor nikel yang sampai digugat Uni Eropa di World Trade Organization (WTO).
Larangan ekspor nikel tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Selain melawan tentangan asing, ia juga menanggapi santai kritikan banyak pihak, termasuk Ekonom Senior Faisal Basri, yang menuding hilirisasi ala Jokowi menguntungkan China. Jokowi tetap kekeh dengan data keuntungan hilirisasi yang dipegangnya.
"Hitungan dia (Faisal Basri) bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentah setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun," katanya di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8).
"Bayangkan saja, kalau kita ambil pajak dari 17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?" sambung Jokowi.
Catatan redaksi: berita ini ada perubahan judul setelah mendapatkan informasi terbaru dari narasumber.