Mengapa Rupiah Terus Melemah dari Rp14.714 ke Rp15.612 5 Bulan Ini?
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami tren pelemahan sejak Mei 2023 hingga saat ini. Sejumlah analis menilai pelemahan rupiah tak lepas dari kebijakan suku bunga bank sentral AS (The Fed).
Tercatat, nilai tukar rupiah pada 2 Mei 2023 berada di posisi Rp14.714 per dolar AS. Nilai tukar mata uang Garuda lalu melemah menjadi Rp14.994 pada 31 Mei 2023.
Kemudian, pada 30 Juni nilai tukar rupiah kembali turun menjadi Rp15.066 per dolar AS. Namun, rupiah sempat kembali menguat ke posisi Rp15.080 per dolar AS pada 31 Juli 2023.
Selanjutnya, nilai tukar rupiah kembali anjlok ke posisi Rp15.230 per dolar AS pada 31 Agustus 2023. Nilai tukar rupiah kembali melemah ke posisi Rp15.460 pada 29 September 2023.
Pada Jumat (6/10) ini, nilai tukar rupiah berada di posisi Rp15.612 per dolar AS. Mata uang Garuda menguat 5,5 poin atau minus 0,04 persen dari perdagangan sebelumnya.
Pengamat Pasar Keuangan Ariston Tjendra mengatakan kebijakan suku bunga acuan AS menjadi pemicu penguatan dolar tahun ini. Di satu sisi, kebijakan moneter AS menjadi perhatian pelaku pasar global.
Ariston menjelaskan dolar AS mempengaruhi transaksi global. Ia menyebut transaksi pembayaran valas global yang memakai dolar AS masih tinggi, sekitar 46 persen dibandingkan nilai tukar lainnya.
Selain itu, dolar AS juga memegang sekitar 60 persen cadangan devisa global. Dengan begitu, ketergantungan dunia terhadap dolar AS masih tinggi.
Ia menuturkan pergerakan rupiah terhadap dolar AS sangat rentan dengan perkembangan yang terjadi di Negeri Paman Sam dan juga isu global, terutama yang mempengaruhi nilai tukar dolar AS seperti kebijakan moneter.
Menurutnya, kenaikan suku bunga acuan AS akan mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Maklum, obligasi pemerintah AS menjadi aset investasi aman yang menarik pelaku pasar sehingga kenaikan imbal hasil obligasi, membuat obligasi pemerintah AS menjadi lebih menarik.
"Pelaku pasar tentu lebih senang berinvestasi di aset yang aman dibanding aset yang berisiko bila menghasilkan imbal hasil yang kurang lebih sama, sehingga dolar AS menguat," kata Ariston kepada CNNIndonesia.com.
Adapun saat ini suku bunga acuan The Fed berada di rentang 5,25 persen-5,5 persen. Ini adalah yang tertinggi dalam sejarah suku bunga AS dalam 22 tahun terakhir.
Lebih lanjut, Ariston mengatakan isu pelambatan ekonomi global dengan tingginya inflasi akibat kebijakan suku bunga tinggi, krisis utang, perang Rusia-Ukraina, juga memberikan sentimen negatif ke aset berisiko seperti rupiah dan mendorong pelaku pasar masuk ke aset aman di dollar AS.
Dari dalam negeri, kata Ariston, sebenarnya fundamental seperti pertumbuhan ekonomi yang di atas 5 persen dan tingkat inflasi yang rendah dan stabil, bisa memberikan sentimen positif ke rupiah.
Tapi, karena pengaruh eksternal yang besar dan posisi rupiah sendiri sebagai aset yang berisiko, internal yang bagus tidak cukup membawa penguatan mata uang Garuda.
"Kekhawatiran pasar mungkin juga cukup besar bila gejolak eksternal bisa mempengaruhi secara negatif perekonomian dalam negeri," imbuh Ariston.
Ariston pun menilai tren pelemahan rupiah akan terjadi tergantung ekspektasi pasar terhadap kebijakan The Fed.
"Apakah ekspektasi kebijakan suku bunga tinggi masih besar? Bisa jadi sampai akhir tahun.
Di pasar keuangan, perubahan bisa juga terjadi dengan cepat," jelasnya.
Setali tiga uang, Analis DCFX Futures Lukman Leong mengatakan tren pelemahan rupiah tak lepas dari ekspektasi prospek pergerakan suku bunga acuan The Fed.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi dari China yang lemah juga menekan mata uang regional termasuk rupiah.
Dari domestik, tingkat inflasi yang semakin turun memicu ekspektasi apabila Bank Indonesia (BI) akan bisa menurunkan suku bunga.
"Divergensi prospek suku bunga ini menurut saya adalah yang paling menekan rupiah," ucap Lukman.
Lukman menilai tren pelemahan rupiah bisa bertahan hingga awal 2024 mendatang.