Jika memang cita-cita gaji pekerja Indonesia mencapai Rp10 juta pada 2045 tidak tercapai, maka Bhima mengatakan Indonesia akan masuk dalam middle income trap dan akan kehilangan momentum untuk bisa jadi negara maju.
"Artinya satu, makin banyak sandwich generation. Jadi makin banyak usia produktif yang menanggung usia non-produktif, termasuk lansia. Karena kita sudah kehabisan waktu untuk mengejar pendapatan yang tinggi," kata Bhima.
Tak hanya itu, hal ini juga tentu akan berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Bhima mengatakan Indonesia akan tetap dipandang sebagai negara yang hanya bersaing dengan negara-negara berpendapatan rendah atau menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, Bhima menyebut pemerintah harus melakukan reformasi struktural negara.
"Artinya merubah struktur ekonomi kita, mencegah deindustrialisasi. Kemudian pemerintah juga harus meningkatkan investasi yang memang menyerap tenaga kerja. Pemerintah juga harus memfokuskan pada insentif fiskal atau perpajakan yang tepat sasaran yang bisa menaikkan upah dari para pekerja," imbuhnya.
Setali tiga uang, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menilai target gaji pekerja Rp10 juta per bulan lepas 2030 terlalu ambisius.
"Untuk melipatgandakan pendapatan pekerja, kita membutuhkan transformasi ekonomi ke sektor bernilai tambah tinggi, terutama industri manufaktur, yang sayangnya hingga kini kita tidak melihat langkah yang cukup meyakinkan ke arah perubahan struktur perekonomian," kata Yusuf kepada CNNIndonesia.com.
Menurutnya, untuk mencapai target gaji pekerja Rp10 juta per bulan, Indonesia membutuhkan industrialisasi yang masif, dengan kontribusi industri manufaktur pada PDB setidaknya di kisaran 25-30 persen.
Sementara, Yusuf menilai kondisi tanah ini saat ini justru sebaliknya, yaitu mengalami deindustrialisasi, di mana kontribusi industri manufaktur terhadap PDB justru turun dari kisaran 27 persen pada 2005 menjadi kini hanya di kisaran 18 persen pada 2022.
Perubahan struktur ekonomi salah satunya terlihat dari komposisi barang ekspor, karena Yusuf menilai hal itu secara langsung menunjukkan daya saing perekonomian. Dilihat dari struktur ekspor, tidak salah jika disebut struktur ekonomi Indonesia hari ini tidak banyak berbeda dibandingkan era orde baru.
Ia menjelaskan pada era 1970-an, ekspor utama Indonesia adalah komoditas yakni, minyak dan gas bumi. Sementara di era tahun 1980-an dan 1990-an, ekspor utama Indonesia adalah barang industri manufaktur ringan berbasis kekayaan alam dan buruh murah seperti kayu lapis, tekstil, garmen dan alas kaki.
Kini, di era 2020-an, ekspor utama Indonesia masih barang industri manufaktur berbasis kekayaan alam dan buruh murah seperti batu bara, minyak sawit, tekstil dan produk logam dasar.
"Dapat dikatakan, dalam 3-4 dekade terakhir, tidak ada pendalaman industri nasional kita," jelas dia.
Ketika negara lain telah jauh bergerak menarik investasi dengan keunggulan kompetitif seperti kualitas SDM, keunggulan birokrasi dan adopsi teknologi tinggi melalui investasi yang masif, Yusuf menilai Indonesia masih terus mengandalkan lahan dan upah buruh murah untuk menarik investasi.
Ia menjelaskan dalam tujuh tahun terakhir, Indonesia menarik investasi besar di sektor pertambangan dan industri pengolahan logam. Namun itu semua di atas biaya insentif perpajakan yang sangat besar, kemudahan penguasaan tanah hingga kebebasan merekrut buruh termasuk buruh asing.
Menurut Yusuf, UU Cipta Kerja mengukuhkan iklim investasi berbasis upah buruh dan biaya lahan murah.
"Ini sebenarnya menggambarkan kegagalan Industrialisasi kita, dimana pangsa nilai tambah sektor industri manufaktur dalam PDB kita terus menurun, dari kisaran 27 persen pada 2005 kini hanya di kisaran 18 persen pada 2022," tegasnya.
Yusuf berpendapat dengan UU Cipta Kerja, Indonesia hanya akan terus mengundang masuk investasi yang mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja murah, di mana biaya sosial dan lingkungan dari investasi seperti ini adalah besar.
"Kinerja ekonomi dari investasi ini cenderung semu, terlihat memberi manfaat besar di awal namun kemudian lebih banyak menciptakan biaya sosial -lingkungan dalam jangka panjang," ungkap dia.
Di era 1990-an, investasi di Indonesia didominasi oleh investasi di sektor industri manufaktur, terutama industri padat karya berorientasi ekspor. Pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB mencapai puncaknya pada 1997, dan setelah kejatuhan akibat krisis kembali pulih di 2000-an.
Lihat Juga : |
Namun setelah itu, pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB terus menurun hingga kini, dari kisaran 27 persen dari PDB pada 2005 menjadi hanya kisaran 18 persen dari PDB pada 2022.
"Deindustrialisasi dini ini ditandai melemahnya daya saing industri manufaktur khususnya industri padat karya, sehingga pasca era 2000-an investasi perlahan mulai meninggalkan industri padat karya, kecenderungan ini menguat dalam 10 tahun terakhir. Hal ini yang menjelaskan mengapa investasi kini semakin lemah menyerap tenaga kerja," lanjutnya.
Menurut Yusuf, investasi di Indonesia kini lebih banyak masuk ke sektor non tradable yang secara umum tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana industri padat karya seperti investasi di sektor properti dan pergudangan (logistik).
Sedangkan investasi yang masuk ke sektor tradable umumnya bukan masuk ke industri padat karya namun ke industri ekstraktif seperti pertambangan dan industri pengolahan hilirisasi tambang, yang secara umum bersifat padat modal dan bahkan masih juga mengambil banyak tenaga kerja dari asing seperti investor dari China.
Turunnya daya saing industri padat modal sebenarnya tak hanya dialami Indonesia. Hanya saja yang membedakan adalah respon kebijakannya.
Yusuf menjelaskan di era 1980-an, Indonesia mulai menerima banyak investasi di industri padat karya yang berpuncak di 1990-an. Hal yang sama terjadi di China.
"Kini daya saing industri padat karya kita menurun, tergerus oleh negara lain dengan upah buruh yang lebih murah seperti Vietnam, Bangladesh dan Sri Lanka, begitupun China. Namun respon kita adalah berusaha "mempertahankan" industri padat karya "at all cost", antara lain dengan UU Cipta Kerja," kata dia.
Menurutnya, pendalaman struktur industri yang masif memungkinkan China untuk tetap dapat menyediakan lapangan kerja yang luas bagi angkatan kerjanya yang masif. Strategi pendalaman struktur industri serupa di dekade-dekade sebelumnya juga telah dilakukan oleh Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Hal ini tidak terjadi di Indonesia.
Sementara,, sambung Yusuf, Indonesia terlalu lama terbuai dengan keunggulan upah buruh murah dan lalai menyiapkan transformasi dan pendalaman struktur industri.
"Kita tak mampu menyiapkan SDM terlatih dan gagal melakukan transfer teknologi. Dan kini kita dengan sederhana menyalahkan upah buruh murah sebagai penyebab turunnya investasi dan deindustrialisasi," lanjut dia.