Senada, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto mengatakan bantuan El Nino dan program lainnya yang baru diumumkan memang terlihat tidak terencana sehingga bisa menimbulkan kecurigaan.
"Orang akan mengaitkan kebijakan ini sebagai bagian dari political game untuk menaikkan elektabilitas," katanya.
Kendati demikian, Teguh menilai sejumlah bantuan yang diberikan Jokowi memang dibutuhkan masyarakat, termasuk BLT El Nino. Namun, ia menilai bantuan El Nino seharusnya diberikan sejak Agustus atau September lalu karena dampak El Nino mulai dirasakan sejak bulan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara terkait penghapusan PPN untuk pembelian rumah di bawah Rp2 miliar, ia menilai terlalu berlebihan. Menurutnya, jika fokus pemerintah adalah membantu kelompok miskin dan rentan, sebaiknya pembebasan PPN diberikan untuk rumah di bawah atau sampai dengan Rp1 miliar.
Sedangkan bantuan membeli rumah Rp4 juta bagi kelompok miskin, Teguh menilainya sebagai program yang begitu mendadak sehingga belum tentu direspons oleh masyarakat.
"Karena membeli rumah bagi kelompok miskin atau rentan tidak semudah membalik telapak tangan," katanya.
Sementara itu, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan fenomena kenaikan anggaran yang berpihak pada rakyat menjelang Pemilu, telah terlihat di Indonesia sejak era pemilihan presiden secara langsung pada 2004.
Fenomena itu disebut electoral budget cycles. Yusuf menyebut electoral budget cycles sering muncul di banyak Pemilu di Indonesia, baik nasional maupun lokal, sebagai instrumen bagi petahana untuk mempertahankan kekuasaan atau melanggengkan dinasti politiknya.
Yusuf mengatakan jelang Pemilu 2019, kenaikan anggaran penanggulangan kemiskinan bahkan telah terlihat sejak 2018.
"Jelang Pemilu 2024, meski presiden petahana tidak lagi ikut bertarung, namun partai dan capres 'yang didukung petahana' berkepentingan dengan kenaikan anggaran kemiskinan ini," kata Yusuf.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, anggaran perlindungan sosial (perlinsos) pada 2014 mencapai Rp439 triliun, lalu turun ke Rp230,7 triliun (2015) dan Rp214,9 triliun (2016).
Anggaran kemudian naik ke Rp216,6 triliun (2017), Rp293,8 triliun (2018), dan Rp308,3 triliun (2019).
Pada 2020, anggaran perlinsos naik ke Rp497 triliun. Lalu turun ke Rp367,7 triliun (2021). Kemudian naik lagi ke Rp431,5 triliun (2022), dan Rp476 triliun (2023), dan direncanakan mencapai Rp493,5 triliun (2024).
Dengan kemiskinan yang tersebar luas, sambung Yusuf, bansos bisa saja mendatangkan "keuntungan elektoral" bagi penguasa, terlebih ketika bansos mengambil bentuk program yang bersifat "bagi-bagi uang".
Apalagi dengan karakter penerima bansos yang merupakan masyarakat kelas bawah yang berpendidikan rendah dan literasi politiknya terbatas, maka dampak bansos terhadap elektoral petahana diperkirakan besar.
"Dengan sekitar 35 persen hingga 40 persen penduduk menerima bansos, maka keuntungan elektoral petahana dan calon yang didukung petahana dipastikan adalah signifikan,"katanya.