Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat nilai transaksi kripto di Indonesia anjlok tajam dalam tiga tahun terakhir.
Pada 2021 nilai transaksinya tembus Rp859 triliun, namun pada 2022 transaksi mata uang digital itu merosot ke Rp306,4 triliun. Tahun ini lebih jatuh lagi, per September 2023 nilai transaksi hanya Rp94,4 triliun.
Penurunan nilai transaksi tersebut justru bertolak belakang dengan jumlah investor aset kripto yang terus naik. Pada 2021, jumlah investor kripto mencapai 11,2 juta orang, pada 2022 mencapai 16,7 juta orang, serta per September 2023 naik lagi menjadi 17,9 juta orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nilai transaksi itu juga berbanding terbalik dengan banyaknya koin kripto yang diperdagangkan. Bappebti mencatat ada 383 aset kripto pada 2022, dan kini bertambah jadi 501 jenis.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto OJK Hasan Fawzi mengatakan penurunan nilai transaksi kemungkinan dipicu oleh beberapa faktor. Salah satunya, pandemi covid covid-19 yang sudah berlalu.
"Saat pandemi, banyak orang memanfaatkan dana menganggur yang tak terpakai karena aktivitas sektor riil yang belum bergulir ke aset kripto, itu sekarang tak ada lagi," katanya kepada wartawan di Bogor Jumat (3/11).
Faktor lain, pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Peraturan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Menurutnya, pengenaan pajak kripto direspons negatif, meski komponen pajak yang dikenakan sebenarnya tidak besar.
Lantas, apa sebenarnya yang terjadi di industri kripto Indonesia sampai nilai transaksinya terjun bebas?
Lihat Juga : |
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Robby mengamini kondisi pasar cenderung lesu karena harga aset kripto yang turun di awal tahun.
Namun, ia melihat jatuhnya nilai transaksi kripto tak lepas dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) kripto, yang diterapkan Maret 2022 lalu.
"Tidak bisa dipungkiri perdagangan aset kripto di Indonesia mengalami penurunan signifikan terjadi karena pajak yang dibebankan kepada pengguna," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (7/11).
PMK 68/2022 mengatur pembeli atau penerima aset kripto dikenakan PPN dengan dua syarat. Jika transaksi dilakukan di bursa terdaftar Bappebti, pajaknya 0,11 persen dari nilai transaksi. Jika transaksinya di bursa yang tidak terdaftar di Bappebti, maka pajaknya 0,22 persen.
Sementara itu, penjual atau yang menyerahkan aset kripto dikenakan PPh 0,1 persen untuk transaksi di bursa terdaftar Bappebti, dan 0,2 jika dijual di bursa yang tidak terdaftar di Bappebti.
Robby menilai penerapan pajak di Indonesia terbilang besar dibandingkan dengan negara lainnya. Bahkan, PPN kripto tidak diberlakukan di banyak negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Australia dan Brazil.
Chief Compliance Officer (CCO) Reku itu menuturkan tingginya beban yang ditanggung oleh investor ini mengakibatkan modal keluar (capital outflow) yang signifikan. Ia khawatir ini memicu transaksi tidak lagi dilakukan di Indonesia tapi di global. Ironisnya, masyarakat tak mendapatkan perlindungan hukum jika bertransaksi di bursa global.
Maka, Aspakrindo siap melanjutkan diskusi lebih jauh mengenai pajak dan keberadaan exchange ilegal agar tercipta industri yang sehat dan menguntungkan seluruh pengguna di ekosistem aset kripto Indonesia.
Meski nilai transaksi turun, Robby pun menuturkan kripto saat ini masih menjadi aset yang menarik. Ketidakpastian ekonomi global membuat pemodal melirik kripto, yang relatif tak terpengaruh isu-isu tersebut.
Selain itu, imbuh Robby, saat ini pasar kripto juga sedang optimis terhadap halving Bitcoin 2024 mendatang dan pengajuan ETF Bitcoin oleh institusi global.
"Saat ini sejumlah aset kripto seperti Bitcoin dan aset-aset lainnya sedang terapresiasi dan bisa semakin meningkatkan animo masyarakat terhadap aset kripto," ucapnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya...