Jakarta, CNN Indonesia --
Mayoritas pemerintah provinsi di seluruh Indonesia telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2024 dengan rumus kenaikan baru yang ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Rumus tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang diteken 10 November 2023.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melaporkan per Selasa (21/11) sore, baru 26 provinsi yang sudah mengumumkan kenaikan UMP. Dari 22 provinsi tersebut, kenaikan terendah adalah Sulawesi Barat, yakni Rp43.165. Sementara tertinggi adalah Maluku Utara, yakni Rp221.646.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila dibandingkan UMP tahun ini, kenaikan UMP 2024 memang lebih rendah. Sebagai pembanding, UMP DKI Jakarta 2024 hanya naik 3,38 persen menjadi Rp5,06 juta. Sementara UMP 2023, kenaikannya mencapai 5,6 persen.
Hal sama juga terjadi pada UMP Jawa Barat 2024, yang tercatat naik 3,57 persen ke Rp2.057.495. Tahun ini, UMP Jabar naik 7,88 persen.
Kemudian di Jawa Timur, UMP 2024 tercatat naik 6,1 persen ke Rp2,16 juta. Kenaikannya lebih rendah dari UMP 2023, yang menanjak 7,8 persen.
Dalam PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, rumus kenaikan UMP 2024 mencakup tiga variabel yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu (disimbolkan dalam bentuk α).
Pasal 26 ayat (4) PP itu memuat formula perhitungan upah minimum tahun depan, yakni upah minimum tahun berjalan ditambah nilai penyesuaian upah minimum tahun depan.
Nilai penyesuaian upah minimum tahun depan dihitung dengan menambahkan inflasi dengan hasil perkalian antara pertumbuhan ekonomi dikali indeks tertentu (α) dalam rentang yaitu 0,10 sampai dengan 0,30, kemudian dikalikan dengan upah minimum tahun berjalan.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Indah Anggoro Putri menjelaskan kenaikan UMP relatif kecil karena memang diperuntukkan bagi karyawan dengan masa kerja di bawah satu tahun.
Menurut Indah, kenaikan upah yang relatif besar biasanya hanya untuk karyawan yang sudah bekerja di atas dua tahun. Kenaikan upah itu juga menyesuaikan dengan kinerja dan produktivitas karyawan bersangkutan.
Ia menyebut kenaikan upah karyawan dengan masa kerja di atas dua tahun itu memang bisa mencapai Rp1 juta hingga Rp2 juta, tergantung kemampuan perusahaan.
"Kalau pekerja satu tahun ke bawah, ya gimana, kita pahami ya naiknya sekitar Rp100 ribu-Rp200 ribu," ujar Indah dalam konferensi pers, Selasa (21/11).
Meski begitu, ia mengatakan penetapan UMP juga diberikan sebagai pelindung bagi pekerja baru agar tak terjebak upah murah, serta menjaga daya beli pekerja.
Benarkah formula upah yang baru mampu mencegah buruh digaji murah dan menjaga daya beli, sebagaimana klaim pemerintah?
Bersambung ke halaman selanjutnya...
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rumus kenaikan upah minimum 2024 masih terlalu kecil dan sangat mengecewakan. Menurutnya, UMP 2024 dengan kenaikan yang terlalu rendah bisa mengancam pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Kenaikan yang ideal, kaat Bhima, di atas 10 persen dengan mempertimbangkan tekanan inflasi pangan yang cukup berisiko menggerus daya beli. Pasalnya, inflasinya terbilang tinggi dan diperkirakan berlanjut ke tahun depan.
"Kalau naiknya upah dibawah 5 persen, buruh mana bisa hadapi inflasi, belum pentingnya soal kontribusi pekerja agar menikmati bagian pertumbuhan ekonomi," katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/11).
Bhima menjelaskan bahwa menjaga daya beli pekerja merupakan kunci agar tahun depan ekonomi bisa lebih tahan dalam menghadapi guncangan. Pasalnya, konsumsi rumah tangga menurutnya masih menjadi motor pertumbuhan ekonomi yang akan diandalkan tahun 2024.
Merujuk pada Pasal 26 Undang-Undang tengtang DKI Jakarta yang masih berlaku, Bhima mengatakan pemerintah daerah DKI Jakarta memiliki kewenangan khusus dibanding daerah lainnya terkait dengan penetapan upah.
Kata Bhima, selama Pasal 26 masih bisa memberi ruang pengaturan industri dan perdagangan, di mana upah merupakan komponen yang tak terlepas dari kebijakan ekonomi, maka gubernur DKI Jakarta seharusnya bisa memanfaatkan regulasi tersebut.
"Jadi enggak perlu merujuk UU Cipta Kerja soal formulasi upah. Kalau bisa lebih baik dari hasil formula UU Cipta Kerja kenapa tidak?" ucapnya.
Menurutnya, dengan upah yang naik lebih tinggi maka perputaran ekonomi juga semakin naik, yang belanja semakin banyak hingga berdampak pada pendapatan daerah.
Ia pun melihat adanya keberpihakan kepada pengusaha dengan adanya rumusan yang berlaku tersebut. Pasalnya, formulasi tersebut sangat mundur dibandingkan rumus dalam PP 78 Tahun 2015, di mana upah dinilai dari pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita melihat pengusaha adem-ayem saja dengan penetapan UMP ini dikarenakan rumus pemerintah sesuai dengan aspirasi mereka.
Soal rumus, ia menilai indikator yang dipakai dalam rumus tersebut terlalu mengambang dan tak langsung menjurus kepada beban pekerja secara spesifik. Misalnya, inflasi yang hanya mengacu kepada inflasi inti dan indeks harga konsumen (IHK), yang sifatnya sangat umum karena kenaikan rata-rata untuk ratusan barang konsumen.
Sementara, menurutnya, pergerakan harga bahan pokok dengan volatilitas tinggi sebenarnya juga perlu mendapatkan perhatian, terutama harga beras, telur, cabai, minyak goreng, dan lain sebagainya. Ia mencontohkan beras yang naiknya lebih 20 persen dalam beberapa bulan terakhir.
Kemudian, imbuh Ronny, ukuran kelayakan hidup juga kenaikan jauh di atas kenaikan UMP.
"Dengan kenaikkan (UMP) yang rata-rata di bawah 6 persen karena pergerakan IHK naik sekitar itu, saya kira tidak akan terlalu membantu dalam memulihkan daya beli pekerja di satu sisi dan membantu menaikan tingkat konsumsi rumah tangga di sisi lain," jelasnya.
[Gambas:Photo CNN]
Ia menilai kenaikan UMP belum mampu menutup tekanan daya beli. Paling banter, hanya menetralisasi tekanan daya beli yang dialami oleh pekerja. Bahkan, bisa jadi tak cukup untuk mengembalikan ke tingkat daya beli semula.
Ronny pun menggarisbawahi indikator yang digunakan bersifat "lagging" alias berkaca pada indikator yang lalu dan telah terjadi. Artinya, tekanan daya beli pekerja sudah terjadi sejak lama, namun baru akan dinetralisir tahun depan.
"Idealnya, jika memang niatnya untuk membantu memulihkan daya beli pekerja agar sesuai dengan tingkat hidup layak dan agar bisa menambah dorongan dari sisi konsumsi rumah tangga, menurut saya, idealnya 7-8 persen," jelas dia.
Menurutnya, lebih ideal kenaikan di kisaran 8 persen hingga 10 persen jika tujuannya tak hanya untuk memulihkan daya beli dan memberi dorongan konsumsi rumah tangga pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengurangi ketimpangan.
"Karena pergerakan pertumbuhan kekayaan orang kaya, berdasarkan pergerakan IHSG (indeks harga saham gabungan) dalam dua tahun terakhir, cukup tinggi, di atas 7 persenan," ucapnya.
[Gambas:Video CNN]