Mengenal Contract Farming yang Dijanjikan Anies Jika Menang Pilpres
Anies Baswedan menjanjikan skema pertanian kontrak (contract farming) jika terpilih di Pilpres 2024 ketimbang melanjutkan lumbung pangan (food estate) yang sudah berjalan di rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia mengatakan nanti dirinya dan jajaran akan menyiapkan regulasi soal pertanian kontrak ini. Anies menyebut program contract farming bakal menjadikan sentra-sentra pertanian sebagai mitra.
Calon presiden nomor urut satu itu berpendapat cara ini lebih adil. Pasalnya, Anies menilai sistem food estate malah memberikan dana kepada korporasi, bukan dirasakan rakyat langsung.
"Jadi sentra-sentra pertanian yang sekarang ada itu dijadikan sebagai mitra, bisa BUMD, BUMN, swasta, tapi pemerintah menyiapkan regulasinya. Sehingga memungkinkan produk pertanian mereka itu langsung bisa diambil oleh masyarakat yang membutuhkan lewat badan-badan usaha itu," jelasnya saat berkampanye di kebun petani hortikultura Pangalengan, Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/11).
"Itulah kenapa kita memilih melakukan contract farming supaya anggaran negara bukan malah dibuat ke tempat yang baru, tapi justru memberikan kepada mereka yang selama ini sudah bekerja untuk produksi pertanian. Di situ letak perbedaannya, ya," tegas Anies.
Sebenarnya pertanian kontrak bukanlah barang baru. Akan tetapi, istilah ini memang belum lazim di telinga masyarakat.
Badan Pangan Dunia (FAO) mendeskripsikan contract farming sebagai bentuk kesepakatan di muka antara petani dan pembeli. Kedua belah pihak umumnya menyepakati syarat dan ketentuan produksi hingga pemasaran produk pertanian.
"Kondisi ini biasanya menentukan harga yang harus dibayar kepada petani, kuantitas dan kualitas produk yang diminta pembeli, serta tanggal penyerahan (hasil pangan) kepada pembeli," tulis FAO di situs resminya, dikutip Rabu (29/11).
"Dalam beberapa kasus, kontrak juga dapat mencakup informasi lebih rinci tentang bagaimana produksi akan dilakukan atau poin-poin tertentu, seperti benih, pupuk, dan saran teknis yang akan disediakan pembeli," sambung penjelasan tersebut.
FAO mencatat sistem contract farming sudah ada selama beberapa dekade. Belakangan, pertanian kontrak semakin diminati di negara-negara berkembang.
Sementara itu, laporan Bank Dunia pada 2014 lalu memberikan gambaran bagaimana dampak pertanian kontrak di beberapa negara. Salah satunya Senegal yang menerapkannya untuk komoditas kacang tanah.
Menurut catatan Bank Dunia, sistem ini memberikan setidaknya peningkatan pendapatan kotor pertanian sebesar 39 persen. Ini lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak terlibat dalam sistem kontrak.
Bank Dunia juga mencatat skema contract farming pernah dilakukan di Indonesia. Setidaknya ada empat komoditas yang diproduksi dalam perjanjian ini, yakni unggas, jagung, beras, hingga kelapa sawit.
"Sistem kontrak meningkatkan pengembalian modal untuk benih unggas dan jagung, namun tidak untuk padi. Petani kontrak masing-masing mengalami peningkatan margin kotor sebesar 71 persen dan 160 persen untuk benih jagung serta unggas," tulis laporan tersebut.
Sedangkan untuk komoditas kelapa sawit diklaim mampu menaikkan pendapatan bersih rumah tangga sebesar 60 persen. Bahkan, penelitian menyebut pertanian kontrak punya pengaruh yang signifikan untuk pendapatan petani kecil secara keseluruhan.